Saturday, April 14, 2012

PROFESIONALITAS DOSEN
DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN
PENDIDKIKAN YANG BERMUTU:
(Analisis Terhadap Pelaksanaan Undang-Undang No.14 Tahun 2005
Tentang Dosen di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)


Samsu


Abstrak:

Dari 235.143 orang dosen (Ditjen Dikti, 2008) menunjukkan betapa mandulnya dosen dalam melaksanakan tridarma perguruan tinggi khususnya dibidang pendidikan dan pengajaran, serta penelitian. Menurut Mien A Rifa’i, APU (Tempo Interaktif, Januari 2008) hanya 2.000 orang dosen yang mampu meneliti dengan layak. Sementara menurut Fasli Jalal (Majalah Tempo, Januari 2008) ada sekitar 3000 orang profesor dan 9000 orang doktor, tetapi tidak sejalan dengan kemampuan mengajar dan menelitinya, sementara perlu ditingkatkan kesejahteraannya. Belum lagi bicara ada sekitar 145.630 orang dosen S1 dan 77.181 orang dosen bergelar S2 (magister), yang sudah barang tentu kualitasnya cenderung lebih rendah dibandingkan doktor dan guru besar. Kondisi ini sangat memperihatinkan dunia pendidikan di tanah air. Hadirnya Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 khususnya dalam mewujudkan profesionalitas dosen dalam mendukung pelaksanaan Pendidikan yang bermutu menjadi harapan baru bagi peningkatan well educated, highly performance, dan well paid bagi dosen
di perguruan tinggi di Indonesia dan khususnya di Fakultas Tarbiyah
IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.


Kata Kunci:
Mutu dosen, Ukuran Profesionalitas, Sertifikasi Dosen, dan
Implementasi UUGD No.14 tahun 2005



A. Pendahuluan
Berbagai kalangan telah menilai bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi sangat rendah, dan berdampak kepada mutu pendidikan nasional Indonesia juga sangat rendah. Dengan rendahnya mutu pendidikan tersebut menyebabkan sejumlah masalah dalam penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas, bahkan dosen di perguruan tinggi (universitas, institut, akademi, sekolah tinggi) sebagai tenaga pendidik juga diklaim sebagai pendidik yang tidak profesional.
Telah banyak upaya yang telah dilakukan, meskipun masih banyak faktor penghambat yang merintangi mulusnya jalan dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu tersebut. Bahkan sejumlah pakar juga telah memberikan upaya identifikasi dalam melihat letak kegagalan dan faktor penyebabnya, dengan memberikan tumpuan yang besar kepada kegagalan profesionalitas dosen.
Pemerintah dalam hal ini juga telah melakukan upaya antisipatif, preventif, dan predictable mengenai mutu pendidikan tersebut. Namun tetap saja tumpuan dan harapan yang besar itu terletak kepada dosen. Mengapa? Karena memang sebaik apapun kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah, pada akhirnya yang akan melaksanakan adalah juga dosen di perguruan tinggi. Karena itu penting untuk melihat, bagaimana sebenarnya latar belakang dan kondisi pendidikan, kinerja, serta penghargaan yang diberikan kepada dosen dengan harapan yang besar tersebut. Apakah mungkin menuntut pengharapan peningkatan mutu pendidikan yang tinggi pada dosen tanpa melihat ketiga hal ini. Lalu apa upaya dilakukan oleh pemerintah sejalan dengan semangat Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya pada sisi dosen tersebut. Inilah yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
B. Rendahnya Mutu Pendidikan
Pembicaraan dan analisis mengenai rendahnya mutu pendidikan terutama diukur dari sisi kemampuan perguruan tinggi untuk melahirkan lulusan (output) yang mampu berkerja dan menciptakan lapangan pekerjaan (outcomes).
Kegagalan perguruan tinggi melahirkan output dan outcome ini menjadi indikator evaluasi yang memberikan penekanan bahwa gegagalan itu disebabkan karena dosen belum menunjukkan kinerja yang tinggi, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti latar belakang pendidikan yang masih dominan S1, belum memadainya kemampuan dan metodologi mengajar dosen, terlebih-lebih dari mereka yang memiliki latar belakang pendidikan non-kependidikan, rendahnya pelatihan, workshop, seminar, dan sejenisnya yang berhubungan dengan pengembangan tekhnik dan metodologi pengajaran, tingkat kemangkiran (absenteeism) dosen yang cukup tinggi, struktur tugas yang belum jelas dan terukur, sampai kepada sistem penghargaan yang belum memadai.
Pendekatan sosiologis memandang bahwa dengan pendidikan yang tinggi akan menunjukkan peningkatan harga diri dan status sosial. Meskipun realitasnya, tidak selalu demikian, karena boleh jadi dengan pendidikan yang memadai, ternyata kinerja rendah, sehingga tidak mampu memberikan layanan pendidikan yang memadai kepada mahasiswa. Karena itu tuntutan profesionalitas jabatan (pekerjaan) merupakan keharusan mutlak bagi seorang dosen di perguruan tinggi.
Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi sebagai salah satu fakultas yang memiliki kewenangan melahirkan calon pendidik yang profesional, akan berhadapan dengan tuntutan dalam melahirkan dosen yang profesional, sehingga melahirkan lulusan pendidikan yang bermutu.
Lulusan pendidikan yang bermutu ini merupakan investasi modal sumber daya manusia (human resources). Pendidikan sebagai investasi modal sumber daya manusia terjadi pada beragam situasi lingkungan (setting), seperti pendidikan formal, latihan pekerjaan (on the job training), seminar profesional (professional on by seminars), dan studi perseorangan (personally directed study). Melalui pendidikan kita mengembangkan kemampuan membaca dan menulis, kemampuan untuk mengerti matematika, dan keterampilan memecahkan masalah. Seperti yang dinyatakan oleh Vern Brimley, JR.Rulon R. Garfield education is an investment in human capital. Education occurs in various settings-in formal education, on-the-job training, professional seminars, and personally directed study. Through education we develop literacy, the ability to numerate, and the skills to solve problem. We achieve self-realization, economic sufficiency, civic responsibility, and satisfactory human relationships. As with all investments, it takes resources to create human capital and provide schooling for children, youths, and adults. There is an element of risk. Resources may be misallocated, investment decisions made incorrectly, and no one can be certain that recipients of the education product will achieve the maximum of their human potential. It is imperative that equitable and adequate finance be provided to education to achieve those goals, in spite of that risk. Menurut Allan R. Odden, dan Lawrence O. Picus the development of the state-controlled and governmentally financed “common school” also raised many fundamental issues about school finance. The key issues concerned the level of government (local or state) that would support public education.
Dari pendapat Allan R. Odden, dan Lawrence O. Picus menunjukkan bahwa peningkatan kualitas pembangunan Negara akan mempengaruhi pembangunan pendidikan khususnya di bidang pendanaan pendidikan, salah satu diantaranya peningkatan kesejahteraan dosen di perguruan tinggi. Dengan peningkatan kesejahteraan bagi dosen ini, diharapkan kinerja dosen akan meningkat, dan akan membuka kesempatan bagi dosen untuk berupaya meningkatkan diri melalui peningkatan jenjang pendidikan ke arah yang lebih tinggi (strata pendidikan S1 ke S2, S2 ke S3, terlebih-lebih menjadi guru besar). Dengan hadirnya Undang-undang Guru dan Dosen Nasional No.14 tahun 2005 diharapkan menjadi komitmen, sekaligus faktor pendukung lahirnya dosen yang profesional.
Menurut Undang-undang Guru dan Dosen Nasional No.14 tahun 2005 menyatakan bahwa dosen yang profesional tersebut seharusnya memiliki tiga kriteria, yaitu 1) dosennya hendaklah memiliki pendidikan yang memadai (well educated), 2) dosennya hendaknya memiliki kinerja yang tinggi (highly performance); baik dari sisi kemampuannya melakukan pendidikan dan pengajaran, maupun dari sisi kemampuan melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, 3) dosennya haruslah memiliki penghargaan yang cukup memadai (well paid), sebagai pengakuan status sosial sebagai pendidik yang profesional.
Jika digambarkan kriteria tersebut sebagai berikut:














Gambar: Tiga kriteria mewujudkan dosen yang profesional

Dengan demikian, isyarat Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang dosen yang profesional ini ditunjukkan oleh indikator 1) Kinerja dosen yang tinggi (Highly Performance), 2) Pendidikan dosen yang baik/memadai (well Educated), dan Penghargaan yang Baik/Memadai (Well Paid).
Untuk mewujudkan indikator ini, maka Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Dosen mengisyaratkan adanya upaya meningkatkan profesionalitas dosen yakni dengan meningkatkan pendidikan dosen minimal berpendidikan S2 untuk dapat mengajar di program S1/Diploma, dan S3 untuk S2/S3 (UU Guru & Dosen No.14/2005 (2b)). Ini berarti ukuran profesionalitas dosen saat ini, tidak lagi dipandang profesional apabila ia memiliki pendidikan di bawah S2 (magister). Dengan kata lain, bahwa seorang dosen yang tidak memiliki kualifikasi pendidikan magister/doktor (S2/S3), maka sebenarnya tidak layak lagi masuk ke dalam kelas untuk memberikan perkuliahan kepada mahasiswa, terhitung sejak diundangkannya UU Guru dan Dosen ini tahun 2005.
Komitmen, dorongan dan sekaligus hukuman Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang dosen ini menjadi legitimasi profesional yang melekat pada diri seorang dosen yang mengklaim dirinya sebagai profesional yang layak dihargai. Dengan demikian terbuka peluang bagi setiap dosen untuk berkompetisi, dan berpacu untuk menetapkan diri sebagai profesional. Paling tidak secara legal professional, di samping professional competence.
Legal professional, maksudnya, pengakuan harkat, martabat, dan profesi dosen sebagai seorang profesional diakui, dan dilindungi haknya secara formal oleh undang-pundang, sedangkan professional competence, maksudnya pengakuan seorang dosen mesti diukur atas profesi yang disandangnya. Artinya seorang profesional mestilah menunjukkan kinerja yang tinggi, karena ia berangkat dari pendidikan yang memadai (well educated), serta memperoleh penghargaan yang cukup memadai/baik (well paid).
Apa yang berlaku selama ini pada sejumlah dosen di berbagai perguruan tinggi yang memiliki pendidikan yang memadai; tetapi tidak diimbangi dengan kinerja yang baik merupakan sikap yang tidak seharusnya dipertahankan menurut Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005, yang oleh karenanya menuntut keterlibatan pimpinan pada berbagai lini dan jenjang kepimpinan untuk memberdayakan dosen ke arah sikap profesional kerja, sehingga mampu mewujudkan kinerja profesional yang pada akhirnya melahirkan pendidikan yang bermutu. Inilah sebenarnya yang menjadi tujuan, arah serta sasaran lahirnya Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 tersebut.
Selain dari itu, seorang dosen yang dikatakan profesional haruslah didukung oleh peningkatan penghargaan yang memadai (baik), karena itu, upaya ke arah ini dikembangkan melalui sertifikasi dosen untuk meningkatkan kesejahteraan dosen. Seperti halnya diamanatkan oleh UUGD No.14 tahun 2005 pasal 53 (1) yang menyatakan bahwa dosen yang memenuhi syarat sertifikasi, akan ditingkatkan penghargaannya dengan memberlakukan tunjangan profesi. Pernyataan UUGD yang menyatakan “Pemerintah memberikan tunjangan profesi…kepada dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat…” menunjukkan pengakuan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dosen agar kinerjanya juga meningkat.
Selain dari itu, UUGD Pasal 47 (1) menyatakan bahwa: ”sertifikat pendidik diberikan setelah memenuhi syarat: (1) berpengalaman mengajar 2 tahun, (2) memiliki pangkat minimal asisten ahli, dan (3) lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi (PT)… yang ditetatpkan oleh pemerintah”.

KONDISI DOSEN PADA PERGURUAN TINGGI
DI INDONESIA TAHUN 2008

TINGKAT PENDIDIKAN PNS-PTN PNS-DPK TETAP YYSAN SUB
JML TDK
TETAP JUML
S1 27.477 4.926 47.981 80.384 65.246 145.630
S2/SP-1 29.636 5.175 25.334 60.145 17.036 77.181
S3/SP-2 7.506 491 2.294 10.291 2.041 12.332
JUML 64.619 10.592 75.609 150.820 84.323 235.143
Catatan:
• Kondisi dosen pada Perguruan Tinggi sangat bervariasi, ada Perguruan Tinggi dengan dosen banyak dan sebagian besar S2/S3, sementara ada Perguruan Tinggi dengan dosen sedikit dan sebagian besar S1.
• Kondisi dosen antara Program Studi (Prodi) dalam Perguruan Tinggi juga bervariasi.
• Banyak Perguruan Tinggi baru/ ”kecil” yang kemampuan dosen-nya masih sangat rendah.

Sumber: Ditjen Dikti, 2008

Jika dilihat dari amanat UUGD No.14 tahun 2005 dan data terbaru tentang dosen dengan latar belakang pendidikannya, menunjukkan bahawa ada sekitar 235.143 (dua ratus tiga puluh lima ribu seratus empat puluh tiga) orang dosen yang mesti mengikuti sertifikasi dosen dan ada sebanyak 145.630 (seratus empat puluh lima ribu enam ratus tiga puluh) orang yang mesti meningkatkan jenjang pendidikannya minimal setaraf dengan S2 (magister). Dengan demikian, realitas peningkatan mutu pendidikan sangat jauh dari harapan. Melihat kenyataan ini menunjukkan bahwa kehadiran UUGD No.14 tahun 2005 sangat realistis untuk meningkatkan profesionalitas dan penghargaan dosen di Indonesia, dan khususnya termasuk Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Selain dari itu, dilihat dari sisi penelitian yang dilakukan oleh dosen, menunjukkan kualitas dan kuantitas yang juga sangat rendah, sehingga memerlukan adanya rekonstruksi, khususnya di bidang penelitian dengan semangat research university untuk menggali kembali esensi dasar pengembangan akademik yang dilakukannya.
Rekonstruksi research university sebenarnya merupakan pembedahan terhadap esensi akademik yang harus dijalankan oleh suatu perguruan tinggi. Rekonstruksi ini terasa penting dan mendesak untuk dilakukan, mengingat selama puluhan tahun kehadiran perguruan tinggi di tanah air, ternyata menunjukkan hasil penelitian yang kurang menggembirakan, bahkan dapat dikatakan jelek dan mandul, terbukti dengan rendahnya kualitas dan kuantitas hasil penelitian yang dilakukan oleh setiap perguruan tinggi di tanah air.
Menurut Mien A. Rifai bahwa: “Dari 180.000 dosen di Indonesia, diperkirakan hanya sekitar 1,1 persen yang mampu meneliti secara layak. Tidak heran, kontribusi Indonesia pada perkembangan ilmu pengetahuan amat rendah. Demikian disampaikan penilai hibah bersaing Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Mien A Rifai APU, di Surabaya, Selasa (22/1).”Setidaknya saya lihat itu berdasarkan proposal penelitian yang masuk ke Dikti. Secara umum hanya 2.000 dosen yang mampu meneliti dengan layak,” ujarnya. Banyak dosen lebih sibuk mengajar di banyak tempat daripada meneliti untuk kepentingan pengembangan ilmu. Pasalnya, penelitian untuk bidang ilmu dinilai lebih merepotkan. Untuk mendapat hibah bersaing dari Ditjen Dikti, dosen harus mengajukan proposal. Meski sudah cukup susah membuat proposal, belum tentu dana diterima oleh dosen tersebut jika kalah bersaing. Lain halnya jika mereka mengajar di banyak tempat. Mereka bisa segera mendapat bayaran tanpa perlu banyak kerepotan. Bayaran bisa diterima langsung setelah selesai mengajar. ”Tetapi, akibatnya penelitian amat kurang,” ujarnya. Penelitian yang kurang itu berujung pada rendahnya publikasi ilmiah dari dosen Indonesia di jurnal internasional. Data dari banyak penerbit internasional menyebutkan kontribusi Indonesia pada jurnal internasional hanya 0,012 persen. Kontribusi itu lebih rendah dari Nepal yang mampu menyumbang 0,014 persen. Padahal, Nepal negaranya lebih kecil dan kalah maju dibandingkan dengan Indonesia. ”Kalau dibandingkan dengan Singapura, malah lebih jauh lagi. Singapura menyumbang 0,179 persen bagi jurnal internasional,” tuturnya. Mien kurang sepakat bila dana dijadikan alasan. Pasalnya, dana relatif cukup tersedia. ”Dari Dikti saja ada Rp 240 miliar untuk tahun 2007 lalu,” ujarnya. Penilai hibah lainnya, Suminar S Achmadi, mengatakan butuh waktu panjang untuk meningkatkan kemampuan dosen”.
Dari sini kelihatan bahwa betapa rendahnya (kuantitas dan kualitas) penelitian dosen. Jika dilihat dari latar belakang pendidikannya, maka dosen yang berlatar belakang doktor dan profesor ribuan jumlahnya, menurut Fasli Jalal dalam majalah tempo, ada sekitar 3000 profesor dan doktor 9000 orang, tetapi tidak sejalan dengan kemampuan mengajar dan menelitinya, sementara perlu ditingkatkan kesejahteraannya. Karena itu perlu dilakukan rekonstruksi akademik-ilmiah yang mengarah pada research university ini. Dengan rekonstruksi perguruan tinggi ke arah research university diharapkan suatu perguruan tinggi akan melahirkan semangat baru dengan paradigma berpikir untuk ‘selalu mencari dan menemukan’ sesuatu sebagai geliat intelektualitas yang dominan pada karakter ilmiah perguruan tinggi.
Rekonstruksi research university sebagai terobosan baru dalam kerangka pemberdayaan fungsi dan peran akademik-ilmiah perguruan tinggi terutama diarahkan untuk lebih menekankan pada aspek, 1) kelembagaan, 2) sumber daya peneliti (dosen), 3) sistem dan birokrasi kampus, 4) pendanaan, 5) fasilitas pendukung, dan 6) penghargaan atas hasil karya dosen. Rekonstruksi ke arah ini, paling tidak memberikan ruang gerak yang simultan dalam mempercepat gerakan diseminasi semangat dan tradisi ilmiah melalui research university ini.
Untuk mendukung ke arah ini, tidak ada pihak perguruan tinggi yang dianggap tidak penting dalam konteks pengembangan research university. Akan tetapi semua dianggap merasa berkepentingan dan berjuang untuk implementasi research university ini, di tengah pelayanan pendidikan yang semakin dituntut untuk mengakses berbagai ilmu pengetahuan dengan cepat. Itulah sebabnya mengubah paradigma perguruan tinggi dari pola tradisional menjadi perguruan tinggi yang berbasiskan research university memerlukan penekanan pada berbagai aspek, di samping untuk memperkuat ruang gerak dosen dalam melahirkan karya penelitian yang representatif dan beragam.
C. Faktor Penghambat Rendahnya Mutu Pendidikan
Apabila dianalisis mengenai faktor penghambat mengenai rendahnya mutu pendidikkan dapat dikelompokkan menjadi beberapa faktor. Ada yang disebabkan oleh faktor mutu dan akses dosen, sistem yang dibangun oleh perguruan tinggi, maupun faktor rendahnya sistem penghargaan (kesejahteraan), jenjang pendidikan, sampai kepada kurangnya pembinaan terhadap peningkatan mutu dosen.
Akumulasi dari faktor penghambat ini akan menyebabkan mutu pelayanan pendidikan juga relatif rendah. Karena itu, masalah mutu pendidikan sebenarnya merupakan masalah yang kompleks. Komitmen untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu tersebut, menjadi dasar pilar dan dasar utama terbangunnya komitmen melahirkan pendidikan yang bermutu. Karena itu, dua mainstream yang dianggap kompeten melahirkan pendidikan yang bermutu itu adalah dosen dan pemimpin.
Dosen dikatakan mainstream melahirkan pendidikan yang bermutu, karena dosen terlibat langsung dalam aktivitas pendidikan dan pengajaran serta penelitian. Dosen memiliki kewenangan, otoritas, serta kompetensi yang memadai dalam melahirkan pendidikan yang bermutu tersebut. Sedangkan dari sisi kepimpinan, pemimpin merupakan pemegang otoritas kekuasaan dan pengambil kebijakan di sebuah perguruan tinggi, untuk menentukan prioritas mana yang akan menjadi jalan lahirnya pendidikan yang bermutu tersebut. Karena itu, sinergisitas antara dosen dengan pemimpin di sebuah perguruan tinggi sangatlah diperlukan. Apabila dosen dan pemimpin berjalan sendiri-sendiri dalam tugas dan kewenangan masing-masing, maka dapat dipastikan secara managerialship, kepimpinan itu akan gagal dalam mewujudkan komitmen bersama untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu.
Sangat tidak rasional, apabila suatu perguruan tinggi dosennya memiliki arah yang tidak sejalan dengan keinginan pimpinan untuk melahirkan visi, misi dan tujuan perguruan tinggi khususnya dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu tersebut. Artinya dengan keterlibatan dosen yang sangat kompleks terhadap tugas pendidikan dan pengajaran serta penelitian, seringkali menyita waktu, pikiran, tenaga serta perhatian dosen, sehingga lari pada cita-cita awal, bahwa yang diharapkan dari perannya adalah melahirkan pendidikan yang bermutu. Kebanyakan yang dilakukan, sebenarnya hanya soal biasa saja, tanpa arah yang jelas.

D. Upaya-upaya Dalam Memperbaiki Mutu Pendidikan
Menurut John Brennan, dkk bahwa fokus pada studi kasus kelembagaan seharusnya dikembangkan melalui hal-hal sebagai berikut: 1) the context for quality assessment e.g. national system features, government policies, external quality assessment requirements, institutional characteristics, 2) the internal quality assessment methods that are in place in institutions e.g. external examiners, student feedback, regular review and monitoring of courses, 3) how quality assessment (both internal and external) affects the management and decision-making processes e.g. relationship to planning and resources, curriculum development, 4) the impact of external quality requirements upon the institution at structural, cultural, curriculum and governance levels, 5) where possible, institutions would undertake internal case studies (within the overall institutional case study) of recently evaluated departments or disciplines, 6) the interpretation of outcomes from quality assessment structure and culture are related to this.
Sejalan dengan pendapat John Brennan tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu pendidikan khususnya di perguruan tinggi seharusnya dikembangkan melalui penataan sistem birokratisasi kampus, kejelasan kebijakan pimpinan, perlunya dibangun mitra pendidikan utamanya dalam pelaksanaan ujian melalui forum penguji luar ketika ada ujian munaqasyah/ujian skripsi, tesis dan disertasi (external examiner), mereview mutu pelaksanaan pendidikan dari dosen yang mengajar di kelas, moniroring dan evaluasi pelakasanaan akademik dan pembelajaran, dan budaya akademik kampus, penerapan open manajement yang berorientasi pada pelayanan mahasiswa (student oriented services), bukan (leadership-bureaucrate/lecturer oriented services), serta mengukur tingkatan pengambilan keputusan, struktur, budaya, kurikulum pemerintahan kampus.
Tujuan Penilaian Kualitas (Purposes of quality assessment)
Perubahan yang secara langsung mempengaruhi sistem pendidikan di dunia adalah merefleksikan maksud atau tujuan penilaian kualitas external dari suatu institusi pendidikan. Menurut John Brennan, Peter de Vries dan Ruth Williams ada tujuh maksud penilaian kualitas (dalam hal ini penilaian pendidikan), yaitu 1) to ensure greater accountability for the use of public funds, 2) to improve the quality of higher education provision, 3) to stimulate competitiveness within and between institutions, 4) to undertake a quality check on new (sometimes private) institutions, 5) to assign institutional status, 6) to transfer authority between the state and institutions, 7) to make insternational comparisons.
Investasi dalam pengembangan professional memiliki banyak tujuan, yang pada prinsipnya menurut Willis D.Hawley dan Donald L. Rollie diarahkan pada dua hal, yaitu 1) memperluas kapasitas dan motivasi dosen untuk meningkatkan pengajaran mahasiswa pada aspek (jalan) khusus, 2) membangun kapasitas baru dalan perguruan tinggi (misalnya memperluas kegunaan teknologi computer dalam pembelajaran).
Efektivitas pengembangan professional (dosen) menurut para ahli sebagaimana dijelaskan oleh Willis D.Hawley dan Donald L. Rollie dapat bagi menjadi 10 prinsip, yaitu:
1) Pengembangan professional seharusnya didasarkan pada analisis kolaboratif dari perbedaan antara (a) kinerja mahasiswa yang sebenarnya, (b) tujuan dan standar pengajaran mahasiswa,
2) Pengembangan professional seharusnya secara mendasar didasarkan dan dibangun melalui aktivitas pengajaran harian,
3) Pengembangan profesional seharusnya melibatkan dosen dalam mengidentifikasi apa yang dibutuhkan oleh mahasiswa dalam belajar dan pengembangan pengalaman belajar dimana mahasiswa akan terlibat di dalamnya,
4) Content seharusnya merefleksikan penelitian yang terbaik pada topik yang diberikan,
5) Content pengembangan profesional seharusnya memfokuskan pada apa yang mahasiswa pelajari dan bagaimana mengalamatkan perbedaan masalah mahasiswa yang mungkin dimiliki dalam materi pengajaran tersebut,
6) Pengembangan profesional seharusnya memberikan peluang kepada yang memiliki pengalaman untuk memberikan pemahaman dan merefleksikan penelitian dan teori yang berkenaan dengan pengetahuan dan keterampilan (skill) yang dipelajari,
7) Cara dosen mengajar adalah memfasilitasi seharusnya menjadi cerminan pendekatan pengajaran (instructional) yang diharapkan untuk dikuasai dan diikuti oleh dosen mengenai pengalaman konsekuensi kapabilitas pengajaran baru,
8) Pengembangan profesional seharusnya dilanjutkan dan diteruskan, melibatkan tindak lanjut (follow-up) dan dukungan (support) pengajaran lanjutan, yakni meliputi dukungan sumber-sumber external perguruan tinggi yang dapat memberikan sumber penting dan perspektif baru,
9) Pengembangan profesional seharusnya dihubungkan dengan proses perubahan komprehensif yang difokuskan pada tujuan khusus untuk meningkatkan pengajaran mahasiswa, dan
10) Evaluasi pengembangan profesional seharusnya menggabungkan berbagai sumber informasi terhadap masalah (a) outcomes mahasiswa, dan (b) pengajaran dan proses lain yang terlibat dalam implementasi pelajaran yang diajarkan.

E. Profesionalitas Dosen
Harapan dan tuntutan terhadap pentingnya profesionalitas seorang dosen, menunjukkan betapa pentingnya seorang dosen menyadari penting arti profesi yang disandangnya. Realitas menunjukkan bahwa ternyata sikap profesional yang dimiliki oleh seorang dosen ternyata jauh dari yang diharapkan oleh Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005, selain disebabkan karena bervariasinya jenjang pendidikan yang rata-rata masih pada tingkat magister (S2) ke bawah (S1), juga karena masih terdapatnya sejumlah dosen yang memiliki kinerja yang masih lemah. Kinerja yang rendah ini ditandai dengan jumlah kehadairan tatap muka di kelas yang masih rendah, persiapan mengajar yang sedanya, sampai kepada kehadiran dan partisipasinya pada kegiatan ilmiah, dan jurusan.
................................................................................................tambah............
F. Faktor Pendukung yang Harus Dibangun
Mewujudkan seorang dosen yang profesional sesuai dnegan amanat Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 ini mengisyaratkan perlunya didukung oleh empat kompetensi dasar, yaitu 1) kompetensi pedagogik, 2) kompetensi kepribadian, 3) kompetensi sosial, dan 4) kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Mengingat tugas pokok sebagai dosen adalah menjalankan tridarma perguruan tinggi, maka tidak ada pilihan lain bagi seorang dosen kecuali berupaya meningkatkan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdiannya kepada masyarakat. Tugas pokok inilah yang menyebabkan seorang dosen selalu berinovasi, dan berkreasi untuk melahirkan konsep atau teori yang lebih tepat dalam melakukan transfer of knowledge dan transfer of valuekepada setiap peserta didik, serta selalu aktif melakukan penelitian yang berhubungan dengan realitas lingkungan sesuai dengan disiplin keilmuan yang dimilikinya.
Berangkat dari tugas pokok yang melekat pada tugas pokok dosen tersebut, menunjukkan bahwa seorang dosen memang dituntut untuk menjadi profesional.
G. Kesiapan Dosen dalam Menghadapi Sertifikasi Dosen: Faktor Penghambat dan Pendukungnya
Pembicaraan mengenai sertifikasi khususnya bagi dosen selalu saja menarik diulas karena memang banyak aspek yang mesti dikaji dalam proses sertifikasi dosen. Persoalannya bukan pada tujuan sertifikasi dosen, tetapi yang menjadi persoalan adalah implementasi sertifikasi dosen tersebut bagi sejumlah dosen, khususnya menyangkut penilaian portofolio sertifikasi.
Menurut Yanto (JE, 12 August 2008), bila diperhatikan sepuluh komponen penilaian sertifikasi melalui portofolio, terdapat beberapa komponen yang dirasakan sangat sulit dipenuhi oleh sebagian besar guru juga terjadi pada dosen kita. Diantara komponen-komponen tersebut adalah pendidikan dan pelatihan, keikutsertaan dalam forum ilmiah, prestasi akademik dan karya pengembangan profesi. Komponen pertama adalah pendidikan dan pelatihan yang dihitung berdasarkan jumlah jam pelatihan. Dari jumlah jam tersebut akan menentukan jumlah skor yang diperoleh dosen. Skala pelatihan juga mempengaruhi skor. Pelatihan yang dilaksanakan pada tingkat nasional tentu lebih tinggi dibandingkan yang hanya tingkat provinsi apalagi kabupaten. Padahal kita tahu, untuk dapat mengikuti pelatihan tingkat kabupaten atau kota saja, tidaklah mudah. Dosen harus mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran yang tidak sedikit. Jangan lupa, dengan ikut pelatihan apalagi yang memakan waktu cukup lama, dosen harus meninggalkan tugas mengajar dalam jangka waktu yang cukup lama.
Masalah siapa yang akan ikut sertifikasi dalam suatu perguruan tinggi juga masalah tersendiri. Dosen ’senior’ dan memegang jabatan tertentu merasa dia yang lebih pantas tanpa ukuran yang jelas, misalnya diumumkan secara fair dan terbuka bagi siapa dosen yang berminat, lalu diseleksi oleh pimpinan unit kerja, hal ini tidak berlaku, justru yang berlaku tiba-tiba saja nama dosen calon peserta sertifikasi dipanggil. Sedangkan dosen yang masih baru tentu ingin juga menambah wawasan ikut berbagai pelatihan. Ditambah lagi pelatihan ataupun pendidikan tidak setiap bulan dilaksanakan. Jadi begitu ada pelatihan, biasanya yang ingin ikut banyak sementara yang diijinkan tentu tidak semuanya. Hal yang sama berlaku juga untuk komponen keikutsertaan dalam forum ilmiah.
Prestasi akademik adalah komponen lain yang dirasa cukup sulit bagi sebagian besar dosen kita. Untuk memenangkan berbagai lomba bukanlah hal mudah. Menemukan karya monumental juga demikian. Menjadi dosen sebagai peneliti merupakan perkara yang sangat sulit, selain menyita waktu, juga perlu dana yang cukup, sementara dana yang tersedia dari pusat penelitian hanya sedikit, itupun harus diperebutkan yang kadang-kadang cara dan transparansi pengelolaannya juga sering tidak fair, misalnya dalih senioritas, pejabat, dan belum pernah meneliti.
Sesuai dengan tuntutan pedoman penilaian angka kredit dosen, maka komponen terakhir yang dirasa cukup berat bagi dosen dalam memenuhinya adalah karya pengembangan profesi. Pada komponen ini, dosen dirangsang untuk menulis artikel, jurnal, buku, dan karya tulis lainnya. Padahal kita tahu bahwa budaya menulis dan meneliti belumlah menjadi sebuah tradisi bagi kebanyakan dosen kita.
H. Analisis Pelaksanaan Undang-Undangan Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005
Bertitik tolak dari realitas dan idealitas keberadaan serta posisi dosen sebagai seorang yang profesional, memberikan arah, penekanan serta harapan yang besar pada upaya perbaikan citra dan mutu seorang dosen. Tuntutan ini memberikan peluang kepada dosen untuk melakukan peningkatan kualitas diri, kualitas kerja, melalui peningkatan jenjang pendidikan (S1 ke S2 dan atau S2 ke S3), serta meningkatkan kesejahteraan dengan program sertifikasi.
Dengan kehadiran Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 merupakan wujud komitmen pada peningkatan kualitas diri dan pelayanan pendidikan dari seorang dosen kepada mahasiswa, selain dari itu, hadirnya Undang-undang ini mengisyaratkan suatu standar kompetensi seorang dosen dalam pelaksanaan tugasnya, serta merupakan pengakuan harkat dan martabat dosen sebagai profesional yang layak dihargai.
Ada sejumlah kalangan dosen menilai bahwa sertifikasi sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang merupakan paksaan, karena menilai bahwa sebenarnya kesejahteraan merupakan hak dosen, sedangkan peningkatan kualitas merupakan sesuatu yang relatif dan memerlukan proses pembinaan tanpa harus mengaitkan kepada kesejahteraan yang diberikan.
Konsekuensi dari kebijakan sertifikasi ini menyebabkan terjadi perbedaan tingkat kesejahteraan. Bahkan fakta menunjukkan ternyata kinerja dosen yang lulus sertifikasi belum menunjukkan peningkatan kualitas pelayanan yang signifikan dibandingkan dengan yang belum disertifikasi. Artinya, sertifikasi dinilai tidak efektif untuk mengukur kualitas pelayanan yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan. Justru yang berlaku adalah dengan rekrutmen peserta sertifikasi memunculkan berbagai pertanyaan di kalangan dosen diberbagai perguruan tinggi di tanah air.
Bagaimanapun Undang-undang No.14 tahun 2005 ini merupakan kebijakan mutlak pemerintah yang harus dilaksanakan bagi guru dan dosen yang dianggap akan meningkatkan standar kualitas kerja dan pelayanannya kepada mahasiswa dan stakeholder-nya, meskipun memerlukan proses panjang dalam pembuktian efektivitasnya. Tapi paling tidak Undang-undang ini merupakan angin segar bagi dunia pendidikan di tanah air. Dalam konteks inilah fakultas tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi mesti berperan aktif dan positif dalam menata dosen menuju pelayanan pendidikan yang berkualitas (bermutu) dan unggul.

I. Kesimpulan dan Penutup
Profesionalitas dosen yang diamanatkan oleh Undang-undang tentang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 merupakan tawaran mutlak untuk memperbaiki mutu pendidikan, dengan memberikan penekanan pada perlunya upaya perbaikan mutu dosen melalui peningkatan jenjang pendidikan (S1 ke S2, dan atau S2 ke S3), serta peningkatan pemenuhan hak-hak dosen melalui sertifikasi agar memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, sehingga memungkinkan dosen lebih ’bergairah’ dalam pelaksanaan profesi, serta perlunya dosen mempertahankan kinerja profesional sebagai bagian dari tugas pokok sebagai dosen.
Hadirnya Undang-undang tentang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 memberikan arah, motivasi, serta penetapan standar profesi dosen sebagai profesional yang layak dihargai terkait dengan fungsinya dalam melaksanakan tridarma perguruan tinggi.

J. Referensi
Allan R. Odden, dan Lawrence O. Picus, School Finance: A Policy Perspective, third edition, United States of America: McGraw-Hill, 2004,
John Brennan, Peter de Vries dan Ruth Williams (editor), Standards and Quality Higher Education, London: Jessica Kingsley Publishers, 1997,
Mien A. Rifai, Kompas, Rabu tanggal 23 Januari 2008, Surabaya, dalam Dikti.Org.
TEMPO Interaktif, Jakarta: 2008,
Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005,
Vern Brimley, JR. Rulon R. Garfield, Financing Education in a Climate of Change, United States of America: Pearson, 2008,
Willis D.Hawley dan Donald L. Rollie, The Keys to Effective Schools: Educational Reform as Continuous Improvement, California: Corwin press, 2007.
Participative Leadership Model:
Reinventing Leadership Style for University Excellencies
In Indonesia

Samsu
Jainabee MD LS. Kassim

This paper focuses on the discussion on participative leadership style of university in Indonesia. Description of the participative leadership aspects of the university based on the concepts, theories and models that are not a part of the inseparable and inter-related. In fact, it can be said that participation in the leadership regarding the university's efforts to find a response back to the style of leadership of the university benefits from the previous period. But basically, this paper elaborates how the issue of leadership in the university has delivered the benefits at the state, especially in Asia worldwide.

Introduction

It can not be denied that the goal of education leadership in the university is to maintain the influence of leadership in an effective leader and increase the ability to run a university higher education and to provide community service at the local, national and international. At this level, it can be divided into three main categories, namely: (i) the purposes of the university leadership, (ii) administrative purposes, and (iii) the educational objectives. In the model of participative leadership, job performance is as an argument to strengthen the nature, power, influence, behavior and trust in participative leadership universities, increase faculty participation, and the stability of the university. Therefore, understanding this from the perspective of management education tends to define leadership as a participation of subordinate in the implementation of the university management. In other organizations, especially in the company, management as expressed by Thomas J. Barry (1997) had six elements of management that can be used as a participative element in the leadership as the transfer of authority through delegation, groups meeting, task forces, quality improvement teams, process improvement team, project improvement team and team-work to do the planning, decision-making processes, and to manage the functions of management-the implementation of basic and additional duties as a lecturer. These are can be seen as one way to encourage involvement in increasing subordinate job performance as a lecturer, and organization (university) that is now considered as a means to enhance, formulate and carry out what we called ' three duties of higher education' they are learning and educating, research and public service on the one hand, and to make the effectivity function of leadership, on the other hand.
According to the illustration above, if they compared with many other experts have a lot of difference. Hersey and Blancard (1974), Steven Altman (1985), Arthur G. Jago in Griffin (1986), Ralph M. Stogdill (1981) and C. Turney (1992) each provided the definitions of leadership with subordinate influence focus on the process to achieve the objectives of the organization. Unlike the M. Lipham (1974), Abdul Malik (1984), Aminuddin (1989), Ba'da (2001) have defined leadership as the behavior of a leader to influence the subordinate organization in achieving goals. Meanwhile, Yukl (2002), and Davis (2003) have stated leadership is an activity and the authority and be owned by a leader to influence subordinates. In fact, Fred E. Fiedler (1967) has argued that a leader is a person who is assigned to guide and coordinate activities related to the tasks that need to be carried out by groups in an organization.
From some of the leadership definition above, it can be concluded that leadership is a complex task that, not only limited to the process, and influence behavior, but also the need to involve the participation and sharing of tasks (participative). Although many experts, the fact that only give the definition of leadership that emphasizes the process to affect subordinate only to achieve the goals of the organization. This process would not affect the way duress, but what a leader is able to interact and inspire tasks to subordinates to implement the techniques in accordance with certain situations and conditions, so that what will be achieved can be success. This is in line with the opinion Cheryl Gray and Quentin Bishop (2009) that there are three keys of leadership development, namely: assessment, challenge and support.

Participative Leadership of University in Indonesia

Discussion about participative leadership in Indonesia can be elaborated through participative leadership concept, the participative leadership theory, participative leadership model and the issues of participative leadership of university in Indonesia.

a. Partisipative Leadership Concept

Participative leadership is an approach or step of participative management to comprehend lecturer behaviour. Bush and Glover (2007) have explained that "perticipative leadership is referred to as using democratic processes to succced in ‘bonding’ staff”. To succeed the process, Edward E Lawler III (1986) has stated that a number of researches indicate that participation of subordinate job or activity (employee) influences organization effectiveness, they are motivation, satisfaction, ability receives change, solving of problem and communications. Thomas J. Barry (1997) has stated that participation of subordinate can be done through participative management through six elements they are 1) delegation, 2) group meetings, 3) task force, 4) quality improvement team, 5) process improvement team, 6) project improvement team. All elements applicable to influence lecturer labour capacity. Participative leader played important role in succeeding labour capacity, In consequence, perceivable that labour capacity can be improved if constructive participative leadership in an university. Thereby, constructs lecturer labour capacity, must be constructed before hand the leadership style chimes in with problem faced by lecturer, that is in the effort constructing and increases they performance capacity.
Robiah Sidin (2003) has stated that the way of someone leads differing in one another. Leader of having style separate leadership based on situation, personality, structure, need leads and source of power of the leader. This factors yields different leadership behaviour. Lynn Marotz and Amy Lawson ( 2007) have stated one of the way of comprehend leadership style and how its the influence an organization is by considering who will to observe (controls) strength and power to make decision and how support and involvement of worker in the proces( Vroom, 1974).

b.The Participative Leadership Theory

There are some definition given to define partisipative leadership as effort to comprehend behaviour leader of in an organization (university) especially to influence labour capacity like laid open by Tony Bush (2003) has stating that participative leadership assumes that decision-making processes of the group should be become principal focus from the group. As leader emphasizing to partner (collegiality), participative leadership is normative model that based on three criterions, they are 1) participation will increase university effectiveness (participation will increase university effectiveness), 2) participation is justified by democratic principles), 3) in the context of site-based management, leadership is potentially available to any legitimate stakeholder. Tony Bush (2003) has stated that participative leadership is attractive modeling because this model emerges and gives opportunity to lecturer to involve in decision making. Bottery (1992) has stated that investment level (participation) may be differentiated as follows:1) pseudo-participation, in which influence is only apparent, 2) partial participation, in which there is limited influence ‘conditioned by the greater influence of others’ and 3) full participation, which involves ‘equal influence on decisions with all other’ interested bodies’.
This participative leadership is one model of the role of alternative leadership becoming emphasis in this research. Based from participative management model (participative management) Thomas J.Barry (1997) has giving emphasis at the importance 1) delegation, 2) group meetings, 3) task force, 4) quality improvement team, 5) process improvement team, 6) project improvement team.
a. Delegation. Delegation is important element in increasing performance capacity. Delegation gives opportunity to subordinate to work in more directional, convinces of, and accountable in duty laxative agent given by leader. In consequence, every leader as possible copes does delegation to the subordinate to increase they performance capacity as according to part which they must do. Failure of leader in giving good delegation to subordinate will make worse the quality and subordinate performance capacity. Thereby, can be told that delegation of a leader through participative leadership given will succeed subordinate in working their task that will be done. Told that way, because subordinate cannot do work which unmatched to task given. According to Thomas J.Barry (1997), presentation of leadership delegation to this lecturer is through 1) division of responsibility, 2) power (authority), 3) leadership role relating to execution of three duties of lecturer in the university (called “tridarma perguruan tinggi”), and 4) lecturer taking part in solving of problem faced by university.
b. Group Meetings. According to Thomas J.Barry (1997), the something important to built in group meeting is communication process taken place is one way between leaders with part and of leader or this part overspreads to subordinate. In the university, remembering a real lecturer duty and many leader, hence group meetings is separate constraint, because they face meeting time problem, activity and duty of lecturer and the leader, motivation, reward, and leadership of a leader in execution of duty. These problems can pursue execution of group meeting. Based from leader and leadership aspects, group meeting problem is medium for transforming value, idea, and policy which will be done by the university. While from lecturer aspect, possibility that group meeting can be seen as there is no the relationship with fundamental duty as lecturer, because this thing tends to will pass the time only, even possibly is looked into group meeting is a duty of leader only, not lecturer duties.
c. Task Force. According to Thomas J.Barry (1997), task force comes from organization of military. The task force is a corps or association of choice activity assigned at one particular selected issue what done by management. By task force, they analyse problem and only gives recommendation and they keep off in implementation from a problem solving (solution). If a recommendation have successfully is given, hence meetings group of this group desists in doing their task. Task force is step and strategy to do the meeting, conference, and trouble-shooting and education planning. By the task force, expected education program and lecturer performance may increase, causing contribution at improvement of quality of organization performance.
d. Quality Improvement Team. According to Thomas J.Barry (1997), quality improvement team is a group of association/task force at one particular ground which order in a structural area to identify a process/project which is not fulfill specified clauses.
e. Process Improvement Team. According to Thomas J.Barry (1997), process improvement team is a group of association/task force at one particular ground which order in a structural area to identify a task taking place to be finalized to reach output.
f. Project Improvement Team. Project improvement team can become spin-off of the process improvement team, task force, or group mettings based on by order in structure area focussed at special project. This thing will overcome elimination from defects in a process.

In the context of partisipative leadership as model, Janice Patterson & Jerry Patterson (2004) express that partisipative leadership is a leader working with colleagues or subordinate with a purpose to increases labour capacity like lecturer to reach purpose of university either in informal and also formal capacities. In formal context, partisipative leader generally controlled by the rector/dean/or their vices. They are all these assists department heads, leader of team mentors for new lecturers and staffs, peer coaches, and or members of quality, process and project development of task forces. While in an informal context, partisipative leader confessed by their colleagues because of credibility, relationship-building skills. This partisipative leader possibly offers support to beginning lecturers, design and implement staff development activities, does recommendation to the above of new lecturer candidate, writes fund for source benefit required, or even acts as expert by expansion of university technology. In Lunenburg and Ornstein 2000) perspective, partisipative leader consulted things relating to subordinate work, accomodates their opinion and periodically tries to applies subordinate idea in decision making. Beside that, participation of subordinate (worker) as term by Zivan Tanic in M.K.Singh and Battacharya (1995) including action-oriented is notions, this category consisted of concept of theory beside practical application.
Until now, level of work subordinate participation according to Dale in M.K.Singh and Battacharya (1995) are divided into four participation styles of subordinate, they are: 1) informal of cooperation, 2) advisory cooperation, 3) constructive cooperation and 4) joint determination. Firstly, with reference to information gathering, secondly doing consultancy, thirdly gives suggestion (suggestion) and fourthly of determination of decision to organization police. Schweiniz in M.K.Singh and Battacharya (1995) also finds other style, that is information-sharing, idea-sharing and problem sharing as a basic function and it is different from participative management system.



c. Participative Leadership Model

The scope of a participative leadership style is oriented to the subordinate participation in the process and the achievement of decision making consists of 14 style categories of achievement, the characteristics of individual behavior that are used to achieve them. Attainment model of participative leadership style of this domain consists of four main behaviors: leader interaction, subordinate work performance, a task master, and contributed to the team relations (see figure 1). Each domain is a characteristic that is expected to apply to the role of leader, and subordinate relationships of individual workers / teams.



Figure 1:
Participative Leadership Model
adapted from Jill.L.Robinson and Jean Lipman-Blumen (2003)

d. The Issues of Participative Leadership of University in Indonesian

There are several factors which the structure of brace application of participative leadership in the university, that allows university leadership to run effectively. They are the behavioral factor, how the implementation of participative leadership, situation factors, and participation factor of the leader in his leadership.
Result of research covers aspects of respondent profile, participative leadership based on two components they are participative leadership and lecturer performance in IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Jambi University and Batanghari University in Jambi Province in Indonesia. There are six primary factors studied in both the participative leadership components they are delegation, group meeting, task force, quality improvement team, process improvement team and project improvement team.
The finding or result of this study answers the first problem about perception of group leader and lecturer on lecturer performance in third of the universities. The finding of this study also answers the second problem about lecturer performance based on element of work productivity, quality of work, task force, initiative, solving of problem. The problem of third study about the significance relationship between participative leadership and lecturer performance. Meanwhile, the problem of fourth study about the significance difference between participative leaderships in the third of universities. While the problem of the fifth study discusses about the significance difference between lecturer performance in the third universities. Last, the problem of the sixth study unfolds about variable influencing lecturer performance in the third of the universities.
Seen the measure of sample, total of sample (all populations) 394 samples and returning circulation of instrument 372; from the amounts, there is 74% than instrument which has been circularized has been returned. Percentage of highest of instrument returned by Batanghari University (86%), IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi (83%) and Jambi University (70%). This study focussed at leader of the universities they are rector/vices rector/dean/vice dean and lecturer as respondent of research. Focusses of this study to the leader and the lecturer, because they can apply partisipative leadership style in managing and implements the activity of university.
Number of samples (total population) of research as a whole based on demography factor (position, gender, serves in university and level of education) among leader and higher education lecturer (universiti and institute) Jambi province, Indonesia like in figure 2 belows.

Figure 2. Profil of Research Respondent by Questionnaire

Background Respondent Frequence Procentage

Position Group Leader 12 3.05
Lecturer 382 96.95

Gender Male 295 74.87
Famale 99 25.13

Serves in University <5 years 65 16.49
5-10 years 94 23.86
11-15 years 120 30.46
16-20 years 70 17.77
>20 years 35 8.88
Level of Education Degree (S1) 14 3.55
Master (S2) 325 82.49
Doktor (S3) 25 6.35
N=394

As shown at figure 2 showing 394 respondent from 3 universities in Jambi Province, Indonesia has replied questionnaire circularized and returns questionnaire 74 %. Out of 394 respondent accompanying this study amount 12 is group leader, 382 lecturer. From the total amount 295 are male and 99 are famale. For categorizing serves in university, amount 65 has served less than 5 year, amount 94 has served between 5 to 10 years, amount 120 has served between 11-15 years, amount 70 has served between 16-20 years, and amount 35 has served above 20 years. For categorizing level of education; 14 lecturer level of education is degree ( S1), 325 lecturer level of education is master (S2) and 25 lecturer level of education is doctor ( S3).
The result of data analysis obtained from questionnaire on participative leadership by using mean score as a whole has been thought. As for decision shows that majority of respondent (subject) has given medium answers to participative leadership in IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi and Jambi University. While participative leadership in Batanghari University has given high answers. The complete information about mean score figuring partisipative leadership profile has been thought, and shown in figure 3 through 6 as belows.

Figure 3. Profil Mean of Participative in
IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Elements of Participative Leadership Mean Score Level
Delegation 3.34 Medium
Group meeting 3.28 Medium
Task force 3.34 Medium
Quality improvement team 3.06 Medium
Process improvement team 3.32 Medium
Project improvement team 3.41 Medium


Figure 4. Profil Mean of Participative in
Jambi University

Elements of Participative Leadership Mean Score Level
Delegation 3.24 Medium
Group meeting 3.06 Medium
Task force 3.07 Medium
Quality improvement team 3.30 Medium
Process improvement team 3.33 Medium
Project improvement team 3.36 Medium


Figure 5. Profil Mean of Participative in
Batanghari University
Elements of Participative Leadership Mean Score Level
Delegation 3.60 High
Group meeting 3.57 High
Task force 3.60 High
Quality improvement team 3.71 High
Process improvement team 3.68 High
Project improvement team 3.86 High


Profil of partisipative leadership as a whole in the form of histogram will seen like in histogram 6 as follows:

Description:
DL=Delegation, PK=Group Meeting, PSK=Task Force, PPK=Quality Improvement Team, PPP=Process Improvement Team, PPPr=Project Improvement Team.

Based on figure 3 through histogram 6 shown that mean score delegation of participative leadership at IAIN STS Jambi (N=107) as a whole follows element of participative leadership is medium (mean score 334). Jambi University (N=212) as a whole follows element of participative leadership resided in medium (mean score 324). While Batanghari University (N=75) as a whole follows element of participative leadership in high rank (mean score 360). The result of data analysis obtained from questionnaire on lecturer performance in the third of universities in Jambi, Indonesia by using mean score as a whole like figure 7 as follows:

Figure 7. Profil Mean, Frequence and
Level of Lecturer Performance


Universities
Mean
Frequence Level of Performance
1. IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi 3.37 90 Medium
2. Jambi University 3.76 150 High
3. Batanghari University 3.41 45 High


Based on figure 7 above, shows that lecturer performance in IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi as a whole follows element of performance is medium (337). While lecturer performance in Jambi University and Batanghari University is high. nevertheless, from five elements of lecturer performance there are differences. The highest mean score is in Jambi University (mean score 376), Batanghari University (score min 341), and IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi has lowest mean score (mean score 337).
Analysis of inferencial statistics is done by using program package SPSS Version 12.00. The result hypothesis by using analysis of inferencial statistics covers Product Moment Karl Pearson correlation applied for the problem of study 3 to test hypothesis H01, one way ANOVA test for the problem of study 4 and 5 to test hypothesis H02 and H03. While for the problem of study 6 to test study hypothesis H04.



Conclusion

Participative leadership style, in the recent times, has become a priority and a key element on leadership style in different parts of the educational institutions. partisipative leadership style is not just a process of implementing style of leadership style, but it’s a quality to be excellence by acting the leader interaction, subordinate work performance, mastering own task, and giving the contribution to team relations.
The result and the formulation about participative leadership and lecturer performance in the third universities in Jambi province, Indonesia can be made as a guidance to move the quality of service in universities. The result of this research has giving many implication leadership style aspect in universities. The implication of impression experienced is feeling antipathy to lecturer or contrary turns into empathy and partnership.
It can be formulated that participative leadership causing change of leadership style a leader stems than some problems; firstly, the happening factor of work that is increasingly heavy and complex faced by the leader. Without participating or investment of lecturer, hence leader will find difficulties in decision-making processes. In reality today, the load university work heaps to someone leader more because of power factor (authority) leader to give delegation in finalizing problem or takes decision burdened to him.
Second, the leader of university applies his power as university controller is a thing absolute, as a rights that is sticking at himself. The power places at position " policy is on leader", and the responsibility of activity and power, so that in totally indoctrinates academic cultural order in the university compares political influence of the leader to the lecturer. This is creating university culture having the character of rigid, slow and haves the character of monotone. Thirdly, based on the group theory; university activity as an organization cannot work itself without involving lecturer in academic activity, mainly in implementing of teaching and education, research and public service (it is called “Tridharma perguruan tinggi”). Based on the organization theory, generates impression that if there is a leader which do not want to work along with lecturer, hence can be disregarded in the problem and university activity. This thing is dangerous and can apply, while leader doesn't realize that lecturer must become part than university decision-making processes.
This research gets that the root problems of the importance of leader using this participative leadership style not solely because paying attention to leader importance, and lecturer only, but also concerning importance of university as a whole. This haves a meaning that participative leadership style gives opportunity to lecturer to be entangled or involveed in university decision-making processes to become increasingly haves a meaning of.

References:
Abdul Malik Hj. Mohd Hanafiah.1984. Pemimpin dan Kepemimpinan. Dewan Masyarakat. June: 23-25.
Abdullah Hassan dan Ainon Mohd. 2002. Komunikasi di Tempat Kerja. Malaysia, PTS Publication.
Alias Muda. 2001. Caragaya Kepemimpinan, Tingkat Kepuasan Kerja Pekerja-pekerja dan Hubungannya; Kajian Kes Pejabat Risda Negeri Trengganu. Latihan Ilmiah. Universitas Kebangsaan Malaysia
Aminuddin Yusof. 1989. Kemanusiaan dalam Kepemimpinan. Dewan Masyarakat. 22 (1): 29
Arifin Bin Ba’da, Komunikasi dalam Kepemimpinan Pengetua dan Kesannya Kepada Kepuasan Kerja Guru. Universitas Kebangsaan Malaysia.
As’ad, M. 1991. Psikologi industri. Yogyakarta: Liberty.
Asnawi, S. 1999. Aplikasi psikologi dalam manajemen sumber daya manusia perusahaan. Jakarta: Pusgrafin.
Bambang Suharno, 2004. Bisnis Sambilan Langkah Awal Menjadi Entrepreneur. Jakarta : Elex Media Komputindo
Bambang Wijayanta & Aristanti Widyaningsih.2007.Ekonomi dan akuntansi: mengasah kemampuan ekonomi, Bandung:Cv.Citra Praya.
Brent Davies (ed.). 2007. Developing Sustainable Leadership. London, Paul Chapman.
Brent Davies (ed.). 2007. Developing Sustainable Leadership. London, Paul Chapman.
Bush and Glover dalam talian Jacky Lumby with Marianne Coleman, Leadership and Diversity: Challenging Theory and Practice in Education, London, 2007
C. Turney.1992. The School Manager. Australia, Allen and Unwen.
Cheryl Gray dan Quentin Bishop. 2009. Leadership Development, The magazine publisher, J Staff Dev. 30 no1 Wint 2009.
Chester I. Bernard dalam talian Steven R. Corman, et.al. 1990. Foundations of Organizational Communication: A Reader. New York, Longman.
Colleen Liston. 1999. Managing Quality and Standards. USA, Open University Press.
David Evans. 1981. Supervisory Management: Principles and Practice. London, Holt Business texts.
Davis, J. 2003. Learning to lead. Westport, CT: American Council on Education/Praeger.
Deli Anhar. 2007. Pengaruh Motivasi Terhadap Produktiviti Kerja Akademik Dosen Pegawai Negeri Sipil Dipekerjakan (PNS DPK) pada Universiti Islam Kalimantan Banjarmasin.
Dessler, G. (1988). Personnel management. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.
Feinberg, M.R. 1992. Effective psychology for managers. Englewood Cliff, New Jersey: Prentice-Hall.
Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, 2003. Manajemen Syari’ah Dalam Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
Djoko Purwanto, 2006. Komunikasi Bisnis, Edisi Ketiga, Jakarta: Erlangga.
Edward E Lawler III. 1986. High Involvement Management. San Francisco, Jossey-Bass Publishers.
Fred C. Lunenburg dan Allen C. Ornstein. 2000. Educational Administration: Concepts and Practices 3rd Edition. USA, Wadsworth.
Fred D. Carver dan Thomas J. Sergiovanni. 1969. Organizations and Human Behavior. USA: McGraw Hill.Inc.
Fred M. Kerlinger. 1998. Asas Penelitian Behavior. Yogyakarta, Gajah Mada University Press. Edisi 3.
Gene E.Hall dan Hord, S.M.2001. Implementing Change: Patterns, Principles, and Potholes.Boston: Allyn & Bacon.
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., Donnely, J.M. 1985. Organizations behavior, structure, processes. Plano : Business Publication.
Grivin, R.W. & Ebert, R.J. 1996. Business. Englewood Cliff, New Jersey : Prentice Hall, Inc.
Hadari Nawawi. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
Hasanuddin Rahman Daeng Naja, 2004. Manajemen Fit dan Proper Test, Yogyakarta, Pustaka Widyatama.
Hasibuan, M.S.P. 1990. Manajemen sumber daya manusia: dasar kunci keberhasilan. Jakarta: CV Haji Mas Agung.
Hasibuan, Malayu, S.P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan Kelima Edisi Revisi. Jakarta, Penerbit Bumi Aksara.
Herman Chaeruman, 2009 http://www.antara.co.id/berita/1252251188/pakar-belum-ada-keseimbangan-penataan-pendidikan-nasional
Hersey, F. & Blancard, K.H.1974. Management of Organization Behaviour ed.ke-2. New York, Prentice Hall of India.
Hessel Nogi S.Tangkilisan, 2007. Manajemen Publik, Jakarta: Grasindo.
Hoy, K.W.dan Miskel G.C. 1991. Educational Administration: Theory, Research & Practice. (ed.4). New York, McGraw Hill Inc.
http://krishna-mumblog-krishna.blogspot.com/2008/09/kepemimpinan-partisipatif.html.
http://www.cabinetoffice.gov.uk/workforcematters/pay_and_rewards/total_rewards/framework/quality_of_work.aspx.
Iskandar. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial. Jakarta, GP Press.
J.Salusu, 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik: Untuk Organisasi Publik dan Non Profit, Jakarta:Grasindo.
Jainabee BT. L.S.MD Kassim.2005.Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja di Maktab Perguruan Malaysia. Malaysia, Thesis Ph.D Universiti Kebangsaan Malaysia.
James F. Budde. 1979. Measuring Performance in Human Service Systems. New York, Amacom.
James M. Lipham. 1974. The Principalship: Fundations and Functions. London, Harper and Row.
James O’Toole, Alih bahasa Neneng Natalina (2003). Leadership A to Z: A Guide for The Appropriately Ambitious, Jakarta:
Jane Purvey. 2008. Department of Human Sciences Loughborough University (http://info.lut.ac.uk/departments/hu/international/malaysian.html).
Jeff Madura, 2007. Pengantar Bisnis Edisi 4, Jakarta: Salemba Empat.
Jewell & Siegall, M.1990. Psikologi industri/organisasi modern. Jakarta: Penerbit Arcan.
Jhon Parks Le Tellier.2007. Quantum Learning and Instructional Leadership in Practice, Corwin Press.
Jill. L.Robinson and Jean Lipman-Blumen. 2003. Leadership Behavior of Male and Female Managers, 1984-2002, California: J Educ Bus 79 no1 S/O 2003.
Jim Knight. 1995. Delegation Skills for Teachers. London, Kogan Page.
John W.Creswell. 2005. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research, 2nd Edition. New Jersey, Pearson Prentice Hall.
John West-Burnham, 2004. Mengurus Kualiti Sekolah, Tengku Abd. Aziz Zainal (Penterjemah), Malaysia: Institut Terjemahan Negara Malaysia Berhad (ITNMB).
Katszenbach, j. dan Smith, D. 1993. The Wisdom of Teams, Boston: Harvard Business School Press.
Kenneth D. Bailey. 1982. Methods of Social Research Second Edition. New York, The Free Press.
Leithwood, Kenneth A., dan Carolyn Riehl.2003. What We Know About Successful School Leadership. Philadelphia: Laboratory for Student Success: Temple University.
Linda lambert, et.al. 2002. The Constructivist Leader. Second Edition. Columbia University: Teachers College Press.
Lunnenburg dan Ornstein, 2000. Educational Administration.
Lynn Marotz dan Amy Lawson.2007. Motivational Leadership in Early Childhood Education. USA, Thomson.
M.K. Singh & A. Bhattacharya. 1995. Participative Management and Corporate Growth. Singapore, SSMB.
Madeleine F.Green (Ed). 1988. Leaders for a New Era: Strategies for Higher Educaton. Canada, McMillan Publishing Company.
Maimunah Binti Muda. 2005. Kepemimpinan Situasi di Kalangan Pengetua Sekolah di Malaysia, p.10.
Marselius Sampe Tondok dan Rita Andarika. 2004. Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional dengan Kepuasan Kerja Karyawan, Palembang.
Martoyo, Susilo. 2000. Manajemen SumberDaya Manusia, edisi keempat.Yogyakarta, BPFE.
Max Weber. 1947. The Theory of Social and Economic Organization. New York: Oxford University Press.
Michael Williams. 2005. Leadership for Leaders. UK, Printed in India by Replika Press.
Michael Williams. 2005. Leadership for Leaders. USA, Thorogood Publishing Limited.
Miles, M.B.& Huberman, A.M.1991. Qualitative Data Analysis. London; Baverly Hill, Sage Publications.
Ming-Yi-Wu. 2006. Compare Participative Leadership Theories in Three Cultures. China Media Research, 2(3), Western Illinois University.
Mujamil Qomar. 2007. Manajemen Pendidikan Islam, Malang: Erlangga.
Mulyasa, E,2005. Manajemen Berbasis Sekolah,Bandung: Remaja Rosda Karya.
Muri Yusuf.A.2002. Kiat Sukses Dalam Karir, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nadi, Makalah Penelitian Pendidikan dalam ttp://feandoom.blogspot.com/2009/03/makalah-penelitian-pendidikan.html2009
Ngalim Purwanto, 2005. Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ni Ketut Sariyathi. 2007. Prestasi Kerja Karyawan (Suatu Kajian Teori). Denpasar, Buletin Studi Ekonomi Volume 12 Nomor 1.
Nurkholis, 2002. Manajemen Berbasis Sekolah:Teori, Model dan Aplikasi, Jakarta:Grasindo.
Parag Diwan. 1999. Communication Management. Malaysia, Golden Books Centre.
Rahmat Ismail, 2006. 12 Rukun Kerja Berpasukan, Kuala Lumpur, Cheras: Utusan Publications & Distributors Sdn.Bhd.
Raja Bambang Sutikno, 2007. The Power of Empathy in Leadership, Jakarta: Gramedia.
Ricky W. Griffin. 1986. Organizational Behavior. Boston, Houghton Mifflin Company.
Robbins, S.P. 2003. Organizational behavior. New Jersey: Prentice Hall.
Werther, W.B. & Davis, K. 1993. Human resource and personnel management. New York: McGraw-Hill, Co.
Robiah Sidin. 2003. Teori Pentadbiran Pendidikan: Satu Pengenalan. UKM Malaysia, Percetakan Asni Sdn, Bhd.
Sambas Ali Muhiddin dan Maman Abdurahman. 2007. Analisis Korelasi, Regresi dan Jalur. Bandung: Pustaka Setia.
Sanafiah Faisal. 1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang, Yayasan Asah Asih Asuh.
Sanusi Uwes. 1999. Manajemen Pengembangan Mutu Dosen. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.
Sapari Imam Asyari. 1983. Suatu Petunjuk Praktis Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya, Usaha Nasional.
Schweniz, Dorothea de. 1949. Labour and Management in a Common Enterprise. Harvard University Press.
Senge, P.M., 1990. The Fifth Discipline, New York: Doubleday.
Sergiovanni, T. 1984. Leadership and Excellence in Schooling, Educational Leadership, 41 (5):4-13.
Steven Altman. 1985. Organizational Behavior: Theory and Practice.Florida, Academic Press.
Stuart C.Smith dan Philip K.Piele. 2006. School Leadership: Handbook for Excellence in Student Learning Fouth Edition.California: Corwin Press.
Sugiyono, 2007. Metode Penelitian Administrasi. Bandung, Alfabeta.
Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Bandung, Alfabeta.
Suharsimi Arikunto. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta, Rineka Cipta.
Syafi’i Antonio. 2007. Muhammad SAW The Super Leader, Super Manager, Jakarta: Tazkia Multimedia dan ProLM Centre.
Syed Azauddin Syed Bahaldin. Tt. Alternative Quality Management Standards-Islamic Perspective. Kuala Lumpur, Utusan Publication and Distributors.
The Journal of School Health v66 p72-4 F '96, Delegation of School Health Services to Unlicensed Assistive Personnel: A Position Paper of the National Association of State School Nurse Consultants, dalam talian http://vnweb.hwwilsonweb.com.www. ezplib.ukm.my).
Thomas Carlyle. On Heroes and Hero Worship and The Heroic in History. www.gutenberg.org/etext/1091
Thomas G. Cummings dan Suresh Srivastva. 1977. Management of Work: A Socio-Technical Systems Approach. California, University Associate.
Thomas J. Sergiovanni. 2000. The lifeworld of Leadership. San Francisco: Jossey-Bass.
Thomas J.Barry. 1997. Total Quality Organization: Balance and Harmony for Excellence. Kuala Lumpur, Gains Prints Sdn. Bhd.
Thomas S. Bateman dan Scott A. Snell, 2008. Manajemen: Kepemimpinan dan Kolaborasi Dalam Dunia Kompetitif , Jakarta: Salemba Empat.
Tichy, N.M.& Cohen,E.1998. The Teaching Organization: Training and Development.52 (7):27-33.
Tony Bush. 2003. Theories of Educational Leadership and Management. London, Sage Publication, 3rd edition.
Yukl, G,. 2002. Leadership in organizations (5th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall.
PENDIDIKAN NASIONAL
BERWAWASAN KOMPETITIF DAN
BERKEUNGGULAN

Samsu

Abstrak:

Efektivitas penyelenggaraan pendidikan nasional, baik dilihat dari sisi tujuan, arah, anggaran, payung hukum, maupun dari sisi kemampuannya untuk memberikan pelayanan yang unggul dan kompetitif, memiliki sejumlah masalah. Paling tidak masalah tersebut bermuara pada rendahnya kepedulian terhadap penyelenggaraan pendidikan dalam konteks pengelolaan, anggaran, kinerja pendidik, serta kemampuannya melahirkan output dan outcome yang berkualitas. Tulisan ini berupaya menguraikan permasalahan tersebut dengan mengedepankan pada analisis kondisi objektif, identifikasi masalah, serta mengungkap harapan peran pendidikan untuk melahirkan pendidikan yang kompetitif dan berkeunggulan.

Kata Kunci:
Kondisi objektif pendidikan, identifikasi masalah, harapan pendidikan
yang kompetitif dan berkeunggulan



A. Latar Belakang
Berbagai kalangan telah mengkritisi mengenai efektivitas penyelenggaraan pendidikan nasional, baik dilihat dari sisi tujuan, arah, anggaran, payung hukum, maupun dari sisi kemampuan pendidikan nasional untuk memberikan pelayanan yang unggul dan kompetitif, serta kemampuannya untuk melahirkan generasi baru yang serba ’berkualitas’ dari berbagai sudut pandang dan pendekatan. Beratnya peran-serta pendidikan yang diemban menyebabkan sistem penyelenggaran satuan pendidikan kita banyak dipertanyakan keberadaannya, bukan untuk mempertanyakan eksistensi, tetapi peran-sertanya dalam konteks pembangunan nasional dan kompetisinya dengan pendidikan berskala global.
Persoalan yang muncul ke permukaan paling tidak mengharuskan setiap pengambil kebijakan seperti pemerintah, pelaku pendidikan, serta sejumlah pemerhati pendidikan untuk mempertanyakan kembali sekaligus berupaya mencari solusi yang terbaik mengenai upaya penciptaan pendidikan nasional yang berwawasan kompetitif dan berkeunggulan, baik skala nasional maupun internasional. Tulisan ini berupaya untuk merumuskan dan mengidentifikasi sejumlah masalah yang dihadapi oleh pendidikan nasional kita. Tujuannya tidak lain untuk memperoleh masukan dalam memperkuat sistem pengembangan pendidikan nasional.

B. Peran Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional
Jika dilihat tujuan pendidikan nasional seperti diamanatkan oleh UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 , maka sebenarnya peran pendidikan diarahkan untuk mencapai pembangunan nasional yang dapat didekati melalui aspek agama, psikologis, ekonomis, budaya, alih teknologi, dan kemampuan melahirkan pendidikan yang kompetitif dan berkeunggulan.
Pendekatan-pendekatan ini merupakan tujuan dan sekaligus langkah strategis yang ingin dicapai oleh pendidikan nasional kita. Realitas menunjukkan pendidikan kita kelihatan gagal dalam membentuk generasi lama secara dominan, utamanya karena diindikasikan oleh perilaku, profil, serta produk pendidikan yang jauh dari sasaran pendidikan nasional selama ini. Orang kemudian mulai menggugat dari sisi mana pendidikan dinilai gagal dalam melahirkan generasi tersebut dalam konteks percaturan politik, dan pranata sosial lainnya. Ada yang mengklaim bahwa pendidikan bukan gagal dalam mencetak generasi lama, karena tugas pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang terjadi hari ini, bukan merupakan tanggung jawab pendidikan. pendidikan telah melahirkan generasi dengan sejumlah kompetensi yang diperlukan, justru yang menyebabkan produk pendidikan berupa ‘lulusan’ gagal dalam melakukan peran positif dalam kehidupan nasional adalah faktor eksternal pendidikan seperti budaya, sistem informasi dan media, akses ekonomi, serta nilai budaya yang dianut oleh masyarakat. Jadi tidak rasional kalau pendidikan yang diklaim sebagai pemicunya.
Ada juga yang menyatakan bahwa pendidikan gagal dalam melakukan peran sosialnya, karena ternyata yang banyak melakukan penyimpangan adalah orang-orang cerdas, bukan orang-orang pintar. Beberapa kasus yang terjadi seperti maling ayam bagi orang miskin dapat dikurung (dipenjara) selama beberapa hari, tetapi jika orang ‘pintar’ bisa saja melakukan berbagai aksi dan strategi atau taktik untuk mengelabui aparat atau penegak hukum, sehingga dapat keluar dengan leluasa. Contoh lain, yang melakukan praktik illegal logging, mafia perbankan, koruptor, dan apalagi jenisnya, sangat dominan berasal dari orang-orang ‘pintar’ dalam konteks berpendidikan dan mereka adalah output pendidikan, sehingga mereka berkesimpulan bahwa pendidikan-lah yang menyebabkan ini semua terjadi. Mereka berpandangan bahwa pendidikan terlalu memberikan porsi yang besar pada ranah kognitif dalam pendidikan, dengan prosentase kurikulum pendidikan yang padat mata pelajaran (mata kuliah) yang mengajarkan logika seperti matematika, dan ilmu eksakta lainnya, sehingga bersifat kritis, daripada afeksi dengan muatan akhlak/moral, dan agama. Perbedaan ini sangat menyolok ditemukan pada kurikulum pendidikan menengah atas/madrasah aliyah ke bawah. Dengan logika yang rasional, output pendidikan berupaya merasionalkan persoalan dihadapi, untuk menghindarkan diri dari problema kehidupan. Dalam konteks inilah mereka bisa mempermainkan hukum dengan delik hukum, dan retorika perdebatan yang rasional.
Terlepas dari perdebatan ini semua, mau tidak mau pendidikan dianggap sebagai media, strategi, serta sarana utama untuk membentuk karakter bangsa (character building) ke depan yang sedang menjadi sorotan berbagai pihak yang mem’vonis’ pendidikan harus direformasi total. Reformasi dilakukan untuk melakukan penguatan internal dan eksternal pendidikan agar mampu memberikan spirit baru menuju perbaikan kehidupan nasional dalam konteks pembangunan pendidikan yang berbudaya, dan kemudian melakukan pembenahan pendidikan yang berwawasan kompetitif dan berkeunggulan.
a. Faktor Penghambat Pembangunan Pendidikan Nasional
Kebijakan pembangunan nasional selama ini, telah memberikan arah yang jelas pada perbaikan berbagai infrastruktur pembangunan, serta peningkatan kualitas hidup. Apa yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah pentingnya mewujudkan kesadaran nasional, serta peningkatan kesadaran politik untuk memberikan keteladanan kepada publik, baik yang menyangkut track record aparatur negara, pentingnya penanaman komitmen pembangunan secara berkelanjutan, pentingnya memberikan penyadaran untuk selalu bersikap positif; jauh dari kehidupan yang suka mencela dan menimbulkan rasa saling curiga, serta pentingnya untuk bangkit bersama-sama secara simultan dari krisis multi-dimensional yang kita hadapi.
Selain itu, faktor penghambat pembangunan yang dirasakan oleh berbagai kalangan, khususnya pihak investor dan pihak asing untuk menanamkan sahamnya di dalam negeri adalah inkonsistensi kebijakan pemerintah yang memberlakukan sistem pajak (tax) yang terlalu tinggi, sistem birokrasi yang berbelit-belit, serta sistem keamanan yang tidak terjamin bagi pihak investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dari sisi pendidikan, ternyata pembangunan nasional pendidikan belum mampu memberikan hasil yang cukup optimal bagi peningkatan kualitas kehidupan bangsa, disamping karena memang pembiayaan dan desain pendidikan yang belum memadai yang menyangkut aspek 1) pengadaan infrastruktur 2) sistem rekrutmen guru/dosen, 3) kepemimpinan lembaga pendidikan (SD sampai PT) yang lemah, 4) sistem reward dan gaji guru/dosen/peneliti yang masih rendah, 5) keberpihakan pembangunan pada dunia pendidikan yang masih lemah, 6) sistem anggaran dan pembiayaan pendidikan tinggi yang berdasarkan kinerja tahun sebelumnya, yang sangat kaku dan bukan berdasarkan rencana strategis yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan perguruan tinggi, 7) lemahnya jaringan interkoneksi lembaga di bidang penelitian, bantuan sponsor, pelibatan penelitian melalui post-doctoral, doctor/professor fellowship, 8) buku referensi yang digunakan (SD sampai SLTA) yang tidak representatif, 9) kemampuan bahasa asing khususnya Inggris, Arab, dan bahasa lainnya yang sangat lemah di kalangan dosen, guru, siswa, dan mahasiswa, sehingga menyulitkan untuk berkompetisi dan mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan.
Sampai saat ini, lembaga pendidikan masih sangat memprihatinkan kondisinya bila dilihat dari sisi infrastruktur yang tersedia, terlebih-lebih bila dibandingkan dengan negara-negara luar seperti Malaysia, Singapura dan negara berkembang terlebih-lebih terhadap negara maju.
Masalah peningkatan mutu pendidikan sebenarnya harus dibarengi dengan ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia. Dalam konteks pengembangan mutu pendidikan, maka sistem pendanaan pendidikan dilakukan melalui anggaran, pembiayaan dan bantuan pendidikan. Sistem pendanaan pendidikan yang berlaku selama ini tidak dapat dibedakan antara 1) anggaran pendidikan, 2) pembiayaan pendidikan, dan 3) bantuan pendidikan secara tegas, sehingga menyulitkan untuk melakukan percepatan peningkatan sumber daya manusia (human resources), dan sumber daya pendidikan, lebih-lebih kondisi ini diperburuk oleh tidak adanya pemetaan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk disiplin keilmuan tertentu.
Anggaran pendidikan lebih merujuk kepada kebijakan umum mengenai sejumlah cost pendidikan untuk membiayai sarana dan prasarana pendidikan termasuk fisik bangunan/gedung sekolah/madrasah/perguruan tinggi dan menyangkut aspek yang sangat luas, termasuk juga dalam hal anggaran pendidikan luar sekolah (jalur formal dan tidak formal). Anggaran pendidikan merupakan cost pendidikan yang diberikan berdasarkan alokasi anggaran pada tingkat provinsi dan kabupaten sampai ke desa-desa di Indonesia, yang perolehan dan penggunaannya diatur melalui mekanisme tersendiri, yang tujuannya tidak lain untuk keberlangsungan satuan pendidikan di sekolah, sedangkan pembiayaan pendidikan pendidikan lebih dimaksudkan untuk menunjang kebutuhan dasar pendidikan, misalnya melalui pengadaan rehabilitasi gedung sekolah, pengadaan teknologi pendidikan, sampai kepada peningkatan sarana-prasarana sekolah.
Perlunya pembedaan antara anggaran, pembiayaan dan bantuan pendidikan, karena orientasi sistem pendanaan bagi pendidikan ini sangat luas, yang satu sama lain saling mempengaruhi dalam meningkatkan mutu pendidikan secara nasional. Akan tetapi belum disadari bahwa ternyata yang paling menentukan adalah sumber daya manusia (human resources) dari guru/pendidik/dosen dalam pendidikan tersebut.
Hingga saat ini masalah anggaran, pembiayaan dan bantuan pendidikan masih menyisakan banyak kelemahan dan masalah dalam praktek di lapangan. Misalnya, anggaran pendidikan di daerah yang masih jauh tertinggal bila diukur dari pendidikan di kota-kota besar, padahal tuntutan kualitas capaian pendidikan melalui hasil-hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) harus sama antara daerah dan kota-kota besar dalam suatu provinsi atau nasional, kondisi ini mempersulit pendidikan di daerah, dengan tuntutan yang berat, tetapi tidak diimbangi dengan kemampuan sistem pendanaan berupa anggaran pendidikan yang memadai.
Selain dari itu, pembiayaan pendidikan melalui upaya pembenahan fasilitas sekolah/madrasah banyak yang tidak tersentuh oleh pembiayaan yang memadai di daerah, sehingga pendidikan yang diselenggarakan terkesan seadanya. Begitu juga dengan bantuan pendidikan, sejumlah mahasiswa yang melanjutkan pendidikan pada tingkatan yang lebih tinggi (magister, dan doktor) baik dalam negeri maupun luar negeri seringkali salah sasaran dan terasa masih sangat minim. Idealnya bantuan pendidikan seperti ini dilakukan interkoneksi antara Kementerian Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, dan departemen lain dengan perguruan tinggi melalui sistem database untuk melihat jumlah mahasiswa yang seharusnya dianggarkan dan dibantu oleh pemerintah. Selama ini yang terjadi adalah terkendala oleh sistem birokrasi pengelolaan dan distribusi bantuan pendidikan oleh pihak pemberi beasiswa (bantuan) pendidikan kepada penerima, sehingga kadang-kadang (bahkan lebih dominan) tidak mampu mengakses informasi itu dengan baik dan cepat. Akibatnya banyak tidak dapat memperoleh bantuan pendidikan dengan baik. Idealnya pemberi beasiswa melakukan link dengan perguruan tinggi, kemudian calon penerima diusulkan oleh perguruan tinggi bersangkutan, dan dana yang mau dicairkan melalui rekening langsung pihak yang menerima, sehingga tidak ada lagi praktek illegal, tetapi praktis, cepat, dan terjangkau kepada semua pihak penerima bantuan (beasiswa), dan sudah barang tentu terseleksi dengan baik.
Pendidikan kita sampai saat ini, masih berputar pada masalah anggaran dan pembiayaan pendidikan ini, tetapi justru masih memiliki pandangan serta perhatian yang lebih pada bantuan pendidikan utamanya untuk peningkatan kualitas guru dan dosen untuk meningkatkan status pendidikan dari S1 (sarjana) ke S2 (master), S2 ke S3 (doktor), dan S3 ke Guru besar (Profesor). Sedangkan orientasi pada pengembangan penelitian yang dilakukan oleh sarjana (S1), master (S2), doktor (S3) dan atau guru besar (profesor) belum dilakukan secara interkoneksi pada berbagai instansi terkait yang melibatkan dosen dalam penelitian (research) ilmiah dan profesional.
Sedangkan pembiayaan pendidikan lebih menekankan pada aspek pendanaan untuk memenuhi efektivitas dan efisiensi penyelenggaran satuan pendidikan pada masing-masing jenjang pendidikan, misalnya rehabilitasi gedung dan fasilitas yang sudah tua, pengadaan media teknologi, sampai kepada infrastrukturnya. Sedangkan bantuan pendidikan lebih menekankan pada bantuan hal-hal yang berkenanaan kesuksesan pelaksanaan pendidikan. Bantuan pendidikan ini dapat dibagi dua, yaitu 1) bantuan yang dilakukan untuk mendukung kelancaran proses pendidikan, seperti penulisan skripsi, tesis dan disertasi, living-cost, pengadaan buku penunjang, dan lain-lain, yang sifatnya insidental, dan dana ini cenderung tidak cukup karena memang jumlahnya kecil, 2) bantuan pendidikan dalam bentuk beasiswa yang diberikan sampai akhir masa studi. Bantuan ini dapat berbentuk dana untuk SPP, pengadaan buku, living-cost, penulisan skripsi, thesis, dan disertasi sampai kepada uang makan, dan penelitian.
Atas dasar ini, maka tidak mungkin kita sebagai bangsa Indonesia mampu untuk melakukan peningkatan apalagi percepatan mutu pendidikan yang sejajar atau melampaui pendidikan di negara luar apabila tidak diperhatikan masalah ini secara maksimal.
Masalah lain yang terjadi di tanah (Indonesia) adalah seringnya politisi, akademisi, praktisi, serta eksekutif dan birokrat bergelut dalam wacana yang saling menjatuhkan dan memojokkan pada suatu kebijakan tertentu, ketimbang harus berpikir untuk bersama-sama melibatkan masing-masing pihak untuk merumuskan kebijakan pemerintahan, dan pendidikan yang kompetitif dan berkeunggulan, bukan hanya lintas provinsi dan nasional, tetapi berskala dunia. Kita belum pernah memperoleh hadiah nobel misalnya dibidang ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan perdamaian dunia, kita juga belum mampu memperlihatkan karya-karya terbaik bangs kita yang lahir dari perguruan tinggi, dan berbangga untuk itu, dengan terus melakukan inovasi tiada henti.
Keberlangsungan alih teknologi dan alih ilmu pengetahuan, sebenarnya harus menjadi miliki bangsa kita dengan memanfaatkan para ilmuwan-ilmuwan dunia, untuk masuk ke Indonesia, tentunya dengan investasi, iklim politik, serta kepedulian kita yang tinggi pada supremasi ilmu pengetahuan, sebagai basis untuk memperkuat eksistensi bangsa di tengah percaturan dunia global. Untuk ke arah ini, tidak ada pilihan lain, kecuali mengusung bahasa nasional dan bahasa asing seperti Inggris, Arab, dan asing sebagai bahasa pengantar dilembaga perguruan tinggi kita sebagai bahasa pengantar wajib di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan kegiatan dan pelayanan akademik. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menghilangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, tetapi dimaksudkan untuk mentransfer percepatan ilmu pengetahuan. Dikatakan demikian, karena memang dunia akademik kita menunjukkan dosen kita banyak yang tidak mampu menguasai bahasa asing dengan baik, utamanya bahasa Inggris, Arab, dan bahasa lainnya.
Kultur masyarakat kita yang lebih suka berbicara daripada berbuat hendaknya sudah dihilangkan. Kultur berbicara memang merupakan suatu hal yang potensial apabila digunakan sesuai dengan latar belakang dan disiplin kita. Dapat kita bayangkan apabila bangsa ini masyarakat petaninya saja setiap hari bicara tentang politik, sepakbola dan sebagainya, sementara ia bukan politisi dan pemain sepakbola. Begitu juga pemerintah kita, yang harus dilakukan adalah bagaimana melayani rakyat, bukan minta dilayani oleh rakyat dengan sistem pengurusan yang birokratis dan sangat berpihak kepada segelintir lapisan masyarakat. Akibatnya rakyat banyak yang kelaparan, miskin, menderita, kehilangan tempat tinggal sampai kepada kurangnya kepercayan kepada pemerintah, sedangkan pendidikan idealnya melakukan kajian-kajian ilmiah (research), dan melakukan rekomendasi dan networking/webworking pada berbagai pihak dalam pemanfaatan hasil pendidikan dan penelitian. Dari sini dapat diperoleh suatu gambaran, bahwa idealnya masing-masing warganegara Indonesia yang sangat potensial ini sudah harus hijrah dari keterpurukan sebagai akibat saling curiga, dan mencaci-maki, kepada suatu tradisi profesional sebagai masyarakat modern yang agraris.
b. Kondisi Objektif Pendidikan Hari ini
Dilihat dari sejarah pembangunan pendidikan nasional, sebenarnya sejarah pendidikan kita sudah cukup panjang. Dalam usianya demikian, seyogyanya pendidikan telah menemukan karakternya yang kuat untuk mendukung pembangunan nasional, dengan meningkatkan derajat kehidupan masyarakatnya. Akan tetapi, ternyata sampai saat ini pendidikan kita belum mampu mewujudkan karakter ideal yang diinginkan untuk memperkuat budaya dan kesadaran pembangunan nasional, karena masih memiliki sejumlah kendala. Kendala-kendala ini secara bertahap terus dilakukan oleh pemerintah. Meskipun kebijakan pemerintah perlu juga mendapat dukungan yang kuat dari semua elemen bangsa.
Sampai saat ini pemerintah terus melakukan terobosan dibidang pendidikan, meskipun demikian, sejumlah persoalan yang masih menjadi kendala yang dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Secara obyektif kendala-kendala tersebut adalah sebagai berikut:
a) Pemerataan pendidikan (desa/kota, kaya/miskin, swasta/negeri/madrasah/sekolah)
Pemerataan pedidikan bagi masyarakat desa dan kota yang masih timpang dan belum terjangkau, belum terjangkaunya pendidikan bagi masyarakat miskin, sementara ada anggapan bahwa pendidikan itu adalah mahal, sejuhlah persoalan yang dihadapi oleh sekolah/madrasah swasta utamanya mengenai gaji guru honorer yang sangat jauh dari kelayakan (Upah Minimum Regional/UMR lebih rendah dari gaji buruh).
b) SDM guru/dosen
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) guru dan dosen kita yang masih rendah. Setidaknya diukur dari rendahnya latar belakang dan jenjang pendidikan guru yang masih banyak yang berlatar belakang pendidikan Diploma, serta belum matching dengan disiplin ilmu yang diajarkan. Sementara dosen kita juga diukur dari rendahnya kemampuan melakukan penelitian, dan masih banyaknya dosen yang berlatar belakang pendidikan strata satu (S1).
c) Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan
Selain dari itu, masalah kepemimpinan pendidikan juga menjadi suatu yang menghambat pendidikan nasional hari ini. Pada sejumlah kepemimpinan lembaga pendidikan di seluruh provinsi hari ini kelihatan menempatkan kepemimpinan pendidikan hanya mampu untuk melaksanakan manajemen organisasi pendidikan, inipun masih menyisakan sejumlah persoalan antara lain rendahnya rekrutmen staf (guru dan pegawai), pengelolaan perpustakaan sekolah, manajemen keuangan, sampai kepada hubungan sekoah dengan masyarakat.
d) Standarisasi dan Sertifikasi Mutu Guru/Dosen
Sampai hari ini masih terdapat 1,7 juta guru yang belum mengikuti sertifikasi, sedangkan dosen ada sekitar 9000 yang akan disertifikasi karena tidak memiliki kemampuan dalam melakukan tugas-tugas akademiknya, anatara lain melakukan penelitian. Dengan sertifikasi sebagaimana diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 diharapkan mutu guru/dosen dapat lebih ditingkatkan.
e) Kemampuan Meneliti
Kemampuan meneliti dosen di perguruan tinggi juga menjadi masalah. Menurut Mien A. Rifai bahwa: “Dari 180.000 dosen di Indonesia, diperkirakan hanya sekitar 1,1 persen yang mampu meneliti secara layak. Tidak heran, kontribusi Indonesia pada perkembangan ilmu pengetahuan amat rendah. Demikian disampaikan penilai hibah bersaing Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Mien A Rifai APU, di Surabaya, Selasa (22/1).”Setidaknya saya lihat itu berdasarkan proposal penelitian yang masuk ke Dikti. Secara umum hanya 2.000 dosen yang mampu meneliti dengan layak,” ujarnya. Banyak dosen lebih sibuk mengajar di banyak tempat daripada meneliti untuk kepentingan pengembangan ilmu. Pasalnya, penelitian untuk bidang ilmu dinilai lebih merepotkan. Untuk mendapat hibah bersaing dari Ditjen Dikti, dosen harus mengajukan proposal. Meski sudah cukup susah membuat proposal, belum tentu dana diterima oleh dosen tersebut jika kalah bersaing. Lain halnya jika mereka mengajar di banyak tempat. Mereka bisa segera mendapat bayaran tanpa perlu banyak kerepotan. Bayaran bisa diterima langsung setelah selesai mengajar. ”Tetapi, akibatnya penelitian amat kurang,” ujarnya. Penelitian yang kurang itu berujung pada rendahnya publikasi ilmiah dari dosen Indonesia di jurnal internasional. Data dari banyak penerbit internasional menyebutkan kontribusi Indonesia pada jurnal internasional hanya 0,012 persen. Kontribusi itu lebih rendah dari Nepal yang mampu menyumbang 0,014 persen. Padahal, Nepal negaranya lebih kecil dan kalah maju dibandingkan dengan Indonesia. ”Kalau dibandingkan dengan Singapura, malah lebih jauh lagi. Singapura menyumbang 0,179 persen bagi jurnal internasional,” tuturnya. Mien kurang sepakat bila dana dijadikan alasan. Pasalnya, dana relatif cukup tersedia. ”Dari Dikti saja ada Rp 240 miliar untuk tahun 2007 lalu,” ujarnya. Penilai hibah lainnya, Suminar S Achmadi, mengatakan butuh waktu panjang untuk meningkatkan kemampuan dosen”.
f) Terbatasnya Prasarana Sekolah
Masalah lain yang dihadapi oleh dunia persekolahan kita hari ini adalah terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah di seluruh Indonesia. Kelemahan dan kekurangan sarana dan prasarana ini berhubungan langsung dengan efektivitas penyelenggaraan pendidikan, yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi kualitas (mutu) pendidikan.
g) Iklim Akademis Yang Tidak Berkembang Dengan Baik
Sejumlah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di tanah air juga ditemukan memiliki iklim akademik yang kurang baik, bahkan jelek, hal ini diindikasikan melalui rendahnya kemampuan dan kemauan guru dan dosen dalam membaca, meneliti, dan menulis, lemahnya kontrol kelembagaan dalam menegakkan aturan dan disiplin, tidak tumbuhnya budaya akademik melalui kegiatan akademik secara baik, karena kultur akademik dan kemampuan bahasa asing khususnya kurang memperoleh penekanan serius dari pemerintah dan dunia pendidikan.
h) Kegiatan Dan Budaya Meneliti Yang Belum Efektif
Selain itu, kegiatan penelitian pun belum berjalan secara efektif, meskipu dana sudah banyak dikeluarkan. Kurang efektifnya kegiatan dan budaya penelitian ini disebabkan karena sistem pengelolaan, distribusi, serta pemanfaatan, dan strategi pengelolaan penelitian kurang berjalan secara efektif.
i) Lemahnya Kemampuan Bahasa Asing (Bukan Sebagai Bahasa Pengantar)
Masalah lain yang dihadapi dan menjadi penghambat pendidikan kita adalah lemahnya kemampuan bahasa asing yang dimiliki oleh peserta didik dan guru/dosen kita, yang mayoritas tidak bisa menggunakan bahasa asing seperti inggris, arab dan mandarin serta bahasa-bahasa asing lainnya sebagai bahasa pengantar. Akibatnya peserta didik, guru, dan dosen tidak mampu mengakses literatur asing dan berinteraksi dengan native speaker dengan baik, hal ini tidak saja memperlambat pembangunan nasional, tetapi juga melemahkan sistem kompetisi lembaga pendidikan untuk bersaing secara internasional.

C. Tuntutan dan Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Nasional Hari ini
Melihat tantangan dan kenyataan (kondisi obyektif) yang dihadapi oleh sekolah dan perguruan tinggi di tanah air, maka sekolah dan perguruan tinggi kita dituntut dan harus berupaya meningkatkan peran pendidikan, yang sampai saat ini upaya dan peran itu masih sangat lemah. Di antara sejumlah tuntutan dan peran yang harus dilakukan adalah perlunya:
1. pemerataan pendidikan (Unit Sekolah Baru/USB, beasiswa, akses pendidikan, pembiayaan pendidikan, sekolah murah/gratis, dan standarisasi),
2. Kualitas guru ditingkatkan melalui program minimal S1, dan S2,
3. Kualitas dosen ditingkatkan minimal S2 (dalam dan luar negeri), dan S3 wajib di luar negeri dengan program scholarship bagi dosen negeri secara penuh untuk semua disiplin, baik di bawah naungan Departmene Pendidikan Nasional (Depdiknas), Departemen Agama (Depag), maupun departemen lain, untuk akses ini perlu jaringan link pemerintah pusat (presiden), dan link kebijakan menteri yang menangani pendidikan terkait,
4. Peningkatan training kepemimpinan pendidikan kekepala- sekolahan oleh perguruan tinggi bukan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), dikatakan demikian karena perguruan memiliki tenaga profesional, sedangkan LPMP hanya bergerak dibidang teknis administratif dan pembiayaan dan prasarana pendidikan, pemerataan dan sejenisnya, karena memang LPMP secara profesional tidak memiliki tenaga pendidik yang memadai secara teoritis dan praktis,
5. perlunya pembinaan manajemen pendidikan dan atau kekepala-sekolahan dibawah pengawasan dan standarisasi perguruan tinggi setempat,
6. Penataan manajemen, sistem informasi, jaringan, dan akses pendidikan,
7. penetapan standar dan sertifikasi guru dan dosen yang bukan hanya dilihat dari segi administratif, tetapi lebih kepada kemampuan bahasa komunikatif-oral, dan kemampuan meneliti, serta keteladanan intern dan ekstern lembaga pendidikan,
8. kemampuan meneliti, dan membimbing penelitian,
9. peningkatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan yang berwawasan pemeliharaan maintanance, dan kemanfaatannya,
10. menumbuhkan budaya akademik yang baik,
11. meningkatkan efektifitas penelitian,
12. mewajibkan bahasa asing seperti Inggris dan Arab sebagai bahasa pengantar di perguruan tinggi, disamping bahasa Indonesia dan dan bahasa asing tersebut di tingkat SD s/d SLTA agar mampu bersaing secara internasional, disamping mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional,
13. meningkatkan peran-serta perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi untuk mempercepat akses pendidikan nasional, di samping pengadaan dan penggunaan cybermedia (internet) untuk memberikan akses pengetahuan dengan cepat, mudah, dan luas, serta mutakhir,
14. meningkatkan peran-serta mahasiswa dan dosen untuk melakukan penelitian di luar dan di dalam perguruan tinggi bersangkutan,
D. Konsep Pengembangan Pendidikan Nasional: Model dan Pendekatan
Dari berbagai teori pembangunan dan pendidikan telah menempatkan pendidikan sebagai alat dan dasar utama dalam proses peningkatan pembangunan suatu negara. Ini berarti pendidikan dalam suatu negara merupakan pilar utama dalam pembangunan. Atas dasar demikian, negara seharusnya memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan.
Teori pembangunan negara yang meletakkan dasar yang kuat pada perlunya dibangun pendidikan nasional tersebut, antara lain dalam konteks kesiapan negara menghadapi proses globalisasi, sehingga menuntut sejumlah kompetensi dan keunggulan bagi setiap bangsa agar tetap bertahan (survive) di tengah-tengah persaingan pasar global. Pasar global sebenarnya, sebagai lingkungan global (global environment) dengan persaingan-persaingan di dalamnya, merupakan salah satu paradigma perubahan (change paradigm) yang dapat mempengaruhi perubahan organisasi (negara) .
Dalam konteks kesiapan negara, pasar global dijadikan sebagai tolok ukur dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kerana itu, sejalan dengan tuntutan lingkungan global, lembaga pendidikan harus mampu mempersiapkan sumber daya manusia yang adaptif, mampu menerima, dan mampu menyesuaikan serta mengembangkan arus perubahan yang terjadi dalam lingkungannya .
Dengan demikian, pendidikan sebagai suatu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa diharapkan mampu memberikan peran dan andilnya dalam akselerasi pembangunan. Kerana itu, pendidikan haruslah mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan bangsa tersebut. Arah, tujuan, visi dan misi pendidikan haruslah mampu menyentuh semua lini kehidupan, kerana itu pendidikan barulah dianggap mampu memberikan kontribusinya apabila semua lini kehidupan tersebut dapat terserap oleh pendidikan.
Pendidikan merupakan kata kunci dalam menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi manusia sepanjang sejarah kehidupannya. Ia juga menjadi tolok ukur maju mundurnya suatu bangsa . Sementara itu, Tilaar menyatakan bahwa pendidikan bertugas untuk mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab setiap warga negara terhadap kelanjutan hidupnya, bukan saja terhadap lingkungan masyarakat dan negaranya, namun juga terhadap umat manusia .
Dari sisi ini, maka dapat dipahami bahwa tanpa pendidikan proses pembangunan nasional akan sulit melakukan percepatan pembangunan, dan negara akan mengalami berbagai persoalan yang mungkin dapat menghambat pembangunan tersebut.
Pemahaman berbagai negarawan, birokrat, politisi, dan akademisi seharusnya merupakan mata rantai yang saling mendukung tegaknya pilar-pilar pembangunan nasional yang berlandaskan pada pendidikan yang berkualitas, dan berdaya saing tinggi, yang bukan saja ditujukan bagi kepentingan individu tersebut, tetapi juga kontribusinya terhadap pembangunan nasional, bahkan kemampuannya untuk melakukan upaya mensejajarkan bahkan memberikan keunggulan bangsa dan negara dimana pendidikan itu berada.
Karena itu penting, saat ini Indonesia melakukan suatu model pengembangan kebijakan pendidikan nasional dan lokal yang memberikan suatu landasan yang kompetitif dan berkeunggulan dengan melakukan percepatan dan perbaikan pendidikan melalui sistem anggaran, pembiayaan, dan pendanaan pendidikan, serta komitmen yang kuat terhadap pendidikan, di sampaing peningkatan kualitas pembelajaran, mutu guru/dosen, dan penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga pendidikan.
Selain dari itu, untuk meningkatkan peran guru dalam profesi yang sebenarnya, maka guru/dosen harus kembali ke kelas (back to class). Artinya profesi lain yang melekat pada guru/dosen hendaknya tidak mengganggu guru/dosen dalam mewujudkan profesi yang profesional. Kebanyakan guru/dosen kita hari ini, dengan berbagai alasan terlibat dalam aktivitas yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan profesi sebagai guru/dosen. Ada guru/dosen yang menjadi nelayan, ada guru/dosen yang berpolitik praktis, ada guru/dosen yang menjadi petani, ada pula guru/dosen yang menjadi pedagang yang tidak ada hubungannya dengan profesi dan disiplin keilmuannya, belum lagi jika dilihat guru/dosen yang terlibat dalam sejumlah proyek pendidikan, tanpa harus memberikan perhatian yang serius terhadap dunia pendidikan.
Dari pengamatan kita pada beberapa guru di provinsi Jambi mengindikasikan adanya penyimpangan perilaku profesional guru dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang guru/dosen. Diduga kuat faktor penyebabnya adalah karena masalah rendahnya apresiasi terhadap profesi guru, selain karena memang kesejahteraan guru sangat rendah dibandingkan profesi lainnya. Dalam penelitian Samsu pada tahun 2003, menunjukkan gaji guru pada suatu sekolah swasta di provinsi Jambi menunjukan angka yang sangat rendah berkisar pada Rp.51.000, hingga Rp.299.000 setiap bulannya. Angka pendapatan gaji guru swasta seperti ini jauh dari kesejahteraan, untuk beli sabun, ongkos dan makan saja tidak cukup (Samsu, 2003). Diduga kuat hal ini juga akan terjadi pada puluhan sekolah/madrasah di provinsi Jambi. Untuk itu perlu upaya mencari rumusan yang tepat mengenai masalah kurangnya perhatian kepada guru dalam meningkatkan peran profesinya sebagai pengajar, pendidik, pelatih dan pembimbing kepada peserta didik di sekolah/madrasah.
Penentuan standar pendidikan merupakan prasyarat menumbuhkan tradisi pendidikan yang berkeunggulan dan kompetitif, meskipun kenyataannya yang ditetapkan oleh pemerintah melalui standar nasional pendidikan hanya berorientasi pada standar internal pendidikan, yang meliputi kompetensi guru (UU Guru dan Dosen) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, tidak ada yang menekankan pada standar pendidikan yang kompetitif dan berkeunggulan. Akibatnya yang direncanakan tidak dapat melakukan kompetisi dan persaingan secara unggul dengan pendidikan antar negara, jika demikian, maka pendidikan kita tidak dapat dikatakan berkualitas, utamanya bila diukur dari sisi hasil-hasil atau produk pendidikan yang dihasilkan, karena pendidikan kita selalu ketinggalan, belum lagi dikaitkan dengan kebijakan dibidang pendidikan yang belum berpihak secara baik kepada pendidikan itu sendiri, dan disertai dengan kesadaran komitmen pemerintah dan pihak pendidikan itu sendiri untuk menciptakan keunggulan dan kompetisi pendidikan justru juga lemah.
Salah satu pendekatan yang haris dilakukan pendidikan dalam negeri (Indonesia) adalah perlunya dibangun suatu kesadaran dibidang penelitian. Selama ini, pendidikan kita belum mampu melahirkan karya-karya inovatif, berkeunggulan, serta mampu menjadi kebanggaan nasional secara kompetitif dan berkelanjutan. Yang ada adalah keunggulan pendidikan secara perorangan yang dilahirkan oleh putra-puteri terbaik bangsa, bukan karena sistem yang dilahirkan oleh pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi).
Sampai saat ini, model pengembangan kualitas dan mutu pendidik terutama dosen di perguruan tinggi belum memiliki arah dan kiblat yang jelas dalam melahirkan dosen-dosen dengan kualitas yang terstandar, berkualitas, dan bergengsi. Pilihan tempat studi pada sejumlah dosen, lebih ditentukan oleh minat dan perhatian dosen untuk memilih lokasi pendidikan lanjutannya. Akibatnya suatu perguruan tinggi terjadi penumpukan dosen ahli dibidang tertentu pada suatu jurusan, tetapi pada jurusan lain ternyata memiliki dosen yang tidak memadai, bahkan berkualitas rendah.
Berdasarkan penelitian penulis pada National University of Malaysia tahun 2008 menunjukkan bahwa standar dosen perguruan tinggi tersebut, sudah ada standar yang baik, seperti dosen yang mau profesor harus melakukan berbagai seminar di tingkat internasional di berbagai negara, pengajaran berstandar ISO, melakukan penelitian di berbagai negara, serta jenjang pendidikan master dan doktor banyak yang ditempuh di luar negeri. Begitu pulang ke Malaysia, maka mereka mentransfer ilmu dan tradisi akademiknya yang tentu saja diperoleh dan bermanfaat bagi negaranya. Sementara dosen kita, jika ada satu dosen yang belajar di satu perguruan tinggi misalnya perguruan tinggi A, maka semua rekan seprofesi sebagai dosen dengan disiplin yang sama, ramai-ramai akan menuntut pendidikan pada perguruan tinggi yang sama. Kondisi ini sebenarnya merupakan pembodohan terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah dan perguruan tinggi tertentu perlu mendesain jumlah doktor dan profesornya yang belajar dan meneliti di perguruan tinggi yang bertaraf internasional, agar peningkatan mutu akademik, tradisi ilmiah, dan transfer ilmu pengetahuan.
Pendidikan merupakan media untuk melakukan transfer budaya menuju keteladanan nasional. Rendahnya apresiasi, perhatian serta keberpihakan pada sistem dan penyelenggaraan pendidikan, menyebabkan pendidikan sulit membendung kebiasaan dan perilaku yang tidak menunjukkan keteladanan, yang ditandai dengan merebaknya perilaku menyimpang secara nasional, baik dalam bentuk korupsi, kekerasan, pelecehan seksual, perampokan, penganiayaan, dan sejumlah perlaku menyimpang lainnya. Padahal jika dilihat, ternyata mereka adalah telah dilahirkan atau merupakan produk pendidikan (baik sekolah dasar, menengah dan tinggi). Dalam konteks ini, apakah pendidikan dapat dinilai gagal? Di sinilah persoalannya, pendidikan kita tidak dapat hadir, tumbuh, dan berkembang serta melakukan tugas dan kewajiban pokoknya dalam melakukan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (bagi perguruan tinggi), atau mengajar, mendidik, melatih dan membimbing (bagi guru di sekolah/madrasah) hanya dengan mengandalkan pada kemampuannya sendiri, tetapi harus didukung dan ditopang oleh perbaikan sistem dan politik nasional yang berpihak pada pendidikan, selain perlunya keteladanan nasional, yang dimulai dari pranata kehidupan yang beragam, yang tentu dimulai dari keluarga.
E. Konteks Pengembangan Pendidikan: Lokal,Nasional, dan Internasional
Dalam upaya mendukung peningkatan pembangunan pendidikan nasional, maka ada beberapa prasyarat konteks pengembangan pendidikan agar mampu melakukan kompetisi secara lokal, nasional dan global (internasional), yaitu:
1. Perlunya diterapkan pendidikan anti korupsi dan kekerasan pada jenjang pendidikan jalur formal, utamanya pada perguruan tinggi, pendidikan ini penting dan mendesak untuk diterapkan mengingat konstruksi kebijakan publik dan tingkat kepercayaan masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan semakin memudar, selain karena sistem yang rapuh, juga karena tingkat kepercayaan dalam mengemban amanat rakyat rendah,
2. Perlunya dikembangkan pendidikan berwawasan kompetitif dan berkeunggulan yang mampu memberikan suatu standar capaian dan target pengelolaan pendidikan nasional,
3. Perlunya diterapkan suatu konsep pendidikan yang berbudaya dengan menekankan pada aspek apektif-pskikomotorik yang kuat daripada aspek kognitif semata,
4. perlunya dibina pendidikan yang menekankan pada penanaman nilai-nilai keagamaan, sebagai dasar untuk memperkuat tatanan kehidupan dalam menghadapi tantangan global dan bersifat destruktif,
5. perlunya penguasaan pendidikan melalui alih teknologi dan peningkatan nilai-nilai kebangunan sosial,
6. perlunya kajian pendidikan lokal, nasional dan internasional sebagai antisipasi pendidikan untuk memperkuat pembangunan pendidikan secara khusus dan pembangunan nasional secara umum,
7. perlunya penetapan standar pendidikan berbasis ISO sebagai dasar penetapan standar pendidikan yang berskala internasional,
8. perlunya peningkatan jaringan pendidikan (networking dan webworking) sebagai suatu antisipasi kebijakan dan upaya memperkuat pembangunan.
F. Solusi Peningkatan Peran Pendidikan Dalam Pembangunan
Kontribusi pendidikan dalam pembangunan nasional merupakan isu sekaligus harapan dalam melakukan percepatan pembangunan nasional. Berbagai kebijakan dan strategi diterapkan untuk meningkatkan kontribusi pembangunan tersebut. Akan tetapi standar implementasi penyelenggaraan pendidikan nasional belum memuaskan. Atas dasar ini, maka perlu adanya konsensus daerah dalam menetapkan standar implementasi pendidikan yang ideal bagi daerah, di samping standar implementasi nasional yang telah dilaksanakan oleh pusat. Penetapan standar implementasi pendidikan lokal dan nasional ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kemampuan pendidikan untuk bersaing secara nasional di samping memberikan keuggulan spesifik secara lokal. Apa yang terjadi saat ini adalah penyamarataan terhadap tuntutan implementasi pendidikan, akibatnya pendidikan yang diselenggarakan oleh daerah dan pusat tidak mampu memberikan keunggulan kompetitif dan spesifik utamanya dalam meningkatkan daya saing, karena terjebak oleh kebijakan yang terlalu sentralistik tanpa harus mendesain pendidikan sesuai dengan kemampuan dan potensi di daerah.
Rendahnya peran serta pendidikan dalam pembangunan nasional selain disebabkan karena rendahnya implementasi penyelenggaraan pendidikan, juga disebabkan karena persoalan dan perumusan pendidikan tidak didasarkan pada permasalahan dari daerah akibatnya, implementasi kebijakan yang ditetapkan oleh pusat, meskipun baik dan maksimal, tetapi dalam prakteknya di lapangan ternyata menimbulkan masalah, hal ini disebabkan karena masalah SDM juga karena logika penerapan kebijakan tersebut tidak/sulit diaplikasikan sesuai dengan kondisi esensial yang dihadapi oleh daerah.
Karena itu ke depan, peningkatan peran pendidikan sedapat mungkin harus memperjuangkan aspirasi dan konsensus mengenai sejumlah masalah yang dihadapi oleh daerah, dan standar kebijakan yang ingin dicapai oleh pemerintah pusat. Hal ini dimaksudkan untuk mempertajam analisis kebijakan pendidikan agar pendidikan dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi percepatan pembangunan nasional.
Analisis kebijakan pendidikan yang dirumuskan di daerah untuk memperkuat arah dan kebijakan pendidikan nasional sedapat mungkin dirumuskan oleh berbagai elemen seperti akademisi di perguruan tinggi secara kelembagaan, tokoh agama, tokoh adat, organisasi masyarakat (ormas), pemerintah dan lain-lain. Kompleksnya masalah yang dihadapi oleh pendidikan nasional, baik menyangkut daya saing pendidikan, problem sosiologi pendidikan (kemasyarakatan), dan masalah internal perguruan tinggi menjadi indikator mengapa rumusan dan analisis terhadap kebijakan pendidikan menjadi suatu keharusan mutlak dalam mempercepat peran pendidikan nasional dalam menyikapi berbagai persoalan kenegaraan.
c. Kesimpulan
Penyelenggaraan pendidikan nasional, baik dilihat dari sisi tujuan, arah, anggaran, payung hukum, maupun dari sisi kemampuan pendidikan nasional untuk memberikan pelayanan yang unggul dan kompetitif, dihadapkan pada sejumlah persoalan. Beratnya peran-serta pendidikan yang diemban menyebabkan sistem penyelenggaran satuan pendidikan kita banyak dipertanyakan keberadaannya, terutama dalam konteks pembangunan nasional dan kompetisinya dengan pendidikan berskala global.
Dengan perannya yang berat tersebut, pendidikan tetap menjadi titik sentral dalam membentuk karakter bangsa (character building) yang karenanya harus direformasi total apabila pendidikan diharapkan mampu mempercepat pembangunan nasional dan melakukan persaingan global. Masalah banyaknya kendala terkait dengan peningkatan mutu pendidikan sebenarnya harus dibarengi dengan ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia. Tanpa itu semua, tidak mungkin kita sebagai bangsa Indonesia mampu untuk melakukan peningkatan apalagi percepatan mutu pendidikan yang sejajar atau melampaui pendidikan di negara luar apabila tidak diperhatikan masalah ini secara maksimal.
Dilihat dari sejarah pembangunan pendidikan nasional, sebenarnya sejarah pendidikan kita sudah cukup panjang. Dalam usianya demikian, seyogyanya pendidikan telah menemukan karakternya yang kuat untuk mendukung pembangunan nasional, dengan meningkatkan derajat kehidupan masyarakatnya. Akan tetapi, ternyata sampai saat ini pendidikan kita belum mampu mewujudkan karakter ideal yang diinginkan untuk memperkuat budaya dan kesadaran pembangunan nasional, karena masih memiliki sejumlah kendala. Kendala-kendala ini secara bertahap terus dilakukan oleh pemerintah. Meskipun kebijakan pemerintah perlu juga mendapat dukungan yang kuat dari semua elemen bangsa.

Daftar Bacaan/Pustaka
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992.
Mien A. Rifai, Kompas, Rabu tanggal 23 Januari 2008, Surabaya, dalam Dikti.Org.
Samsu, Sistem Penghargaan dalam Perspektif Peningkatan Kinerja Guru: Studi Kasus di SMK Jambi IX Lurah 2 Jambi, Jambi, 2003.
Soemantrie, Perekayasaan Kurikulum Pendidikan Rendah dan Menengah Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional: Pengembangan dan Pemikiran. Bandung,: Angkasa, 1993.
Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14/2005.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003.
Young, Organization Development: The Consultant’s Hand Book. Jakarta-Indonesia, IPWI Publishing Company, 1999.
Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.