Thursday, October 9, 2008

PENDIDIKAN MULTI KULTURAL
(Multicultural Education)
Oleh: Samsu,S.Ag,M.Pd.I




Abstrak:
Negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya, dan hal ini hanya dapat diikat melalui pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural, seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka.

Kata Kunci:
Manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centered development),
konflik, masyarakat multi kultural, pendidikan karakter,
otonomi dan desentralisasi pendidikan.



A. Pendahuluan
Sedikitnya selama tiga dasawarsa.[1] kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi September 11 dan invasi Amerika Serikat ke Irak serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan keragaman dan antar kelompok di Indonesia.
Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslakia, Zaire hingga Ruwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia.
Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama. Menurut Imam Tholkhah[2] di Indonesia, untuk kurun waktu tahun 1990-an sampai dengan 2000 saja banyak terjadi konflik dan kerusuhan sosial di berbagai daerah yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan), sampai saat ini konflik dan kerusuhan tersebut masih terus berlangsung disebabkan oleh berbagai hal, tetapi dalam kenyataannya hampir semuanya melibatkan simbol-simbol dan sentimen-sentimen agama.
Kondisi ini merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul[3]. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.
Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materil maupun non-materil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Sebagai contoh, dengan meneriakkan "Islam" misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari keinginan yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi.
Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah.
Dalam konteks pendapat yang ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Wacana ini mulai ramai terdengar di kalangan akademisi, praktisi budaya dan aktifis di awal tahun 2000 di Indonesia.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai kajian tentang strategi membangun wawasan kebangsaan melalui pendidikan dan merupakan bahan kajian lanjutan untuk mengetahui corak, peluang dan tantangan kebangsaan dalam bingkai kesatuan yang berlandaskan pada pendidikan karakter di Indonesia.
B. Multikultural dan Difusi Pendidikan Budaya
Di awal perjalanan abad ke-21 (the third millenium) ini, kesadaran global tentang peningkatan SDM melalui pendidikan dan kehendak untuk menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centered development) tampak semakin jelas[4].
Kesadaran dan potensi SDM ini seringkali menjadi kendala tersendiri bagi setiap bangsa ditengah-tengah masyarakat global dan multikultural. Karena itu, pendidikan multikultural dengan membangun pendidikan karakter merupakan suatu keniscayaan yang harus dibangun oleh negara dengan latar belakang multikultural tersebut.
Pendidikan multikultural akan mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, apabila setiap komponen bangsa memiliki karakter dan ini hanya bisa dibangun melalui pendidikan. Apabila karakter ini sudah dapat diwujudkan oleh pendidikan, maka keragaman etnik dan budaya dapat diwjudkan sepert R. Stavenhagen: Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system[5].
Wacana tentang pendidikan karakter melalui pendekatan multikultural, secara sederhana dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan" berbasiskan pada kearifan lokal.
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire[6], pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Akan tetapi, pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya dan inilah yang disebut sebagai pendidikan berkarakter.
Karena itu sejalan dengan pendapat Paulo Freire, James Banks menjelaskan bahwa pendidikan multikultural berbasis karakter ini memiliki lima dimensi yang saling berkaitan:
1. Content integration (mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu)
2. The Knowledge Construction Process (membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran atau disiplin)
3. An Equity Paedagogy (menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial)
4. Prejudice Reduction (mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptidakan budaya akademik).
Sementara itu, menurut Tilaar[7], pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indifference" dan "non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.
Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan. Pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat, pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
Bagi sebuah bangsa dengan berlatar belakang multi budaya (multikultural), ternyata menjadi sebuah potensi sekaligus dapat menjadi ancaman bagi eksistensi sebuah bangsa. Karena itu, wawasan kebangsaan harus dibina sebaik-baiknya agar tidak terjadi benturan-benturan yang mengarah pada disintegrasi kebangsaan.
Selain dari itu, ternyata persoalan dipusi budaya menjadi persoalan lain yang tidak kalah hebatnya dalam membentuk kultur kebangsaan. Dengan potensi budaya dan wilayah yang beragam, menjadi faktor kendala dalam mewujudkan wawasan kebangsaan.
C. Wawasan Kebangsaan dalam Perspektif Pendidikan
Reformasi bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke-20 M., telah membawa perubahan besar pada kebijakan pengembangan sektor pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu otonomisasi dan demokratisasi. Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah telah meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu yang diotonomisasikan bersama sektor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya, seperti kehutanan, pertanian, koperasi, dan pariwisata. Otonomisasi sektor pendidikan kemudian didorong pada sekolah, agar kepala sekolah dan guru memiliki tanggung jawab besar dalam peningkatan kualitas proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar[8].
Akibat otonomisasi dan demokratisasi yang terlalu besar tersebut; di satu sisi memberikan kontibusi yang besar bagi percepatan pembangunan dan keterbukaan. Secara teoritis, David Osbone dan Ted Gebler[9] menjelaskan bahwa ada beberapa keuntungan dari lembaga (termasuk lembaga pendidikan) yang otonomi dengan pola desentralisasi ini, yaitu decentralised institutions have a number of a advantages,1) the first, they are far more flexible than centralised institutions; they can respond quickly to changing circumstanced and cutomer’s needs (lebih lembaga fleksibel dan dapat merespon secara cepat untuk mengubah situasi), 2) decentralised institutions are more efective than centralised institutions (lembaga lebih efektif), dan 3) decentralised institutions are far more innovative than centralised institutions (lembaga yang desentralistik lebih inovatif dari pada lembaga yang terpusat), 4) decentralised institutions generate higher morale, moe commitment, and greater productivity (lembaga lebih menekankan pada penegakan moral, lebih komitmen dan lebih produktif).
Di sisi lain, dengan otonomi dan demokratisasi juga dapat menyebabkan wawasan kebangsaan menjadi pudar. Dengan dalih otonomi daerah dan demokrasi, banyak daerah meletakkan landasan yang kuat pada percepatan pembangunan dengan mengandalkan kemampuan sendiri, akibatnya seringkali isu kedaerahan menjadi pemicu terjadinya konflik sosial, ekonomi, dan politik bahkan pendidikan. Karena itu, pengelolaan prinsip pemerintahan dan manajemen perlu dilakukan/diatur melalui pendekatan kemasyarakatan.
Margaret A. Arnott dan Charles D. Raab[10]menjelaskan pengorganisasian prinsip pemerintahan dan manajemen dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat sebagai berikut:

Subject
Market
Community
Management
Self Management
Value management

autonomy
Local system

Flexible resource management
Enabling learning

Efficiency
Effective process

Instrumental rationality
Value rationality
Governance
Consumer democracy
Local democracy

Individuals/consumers
Citizens and their communities

Competition
Collaborative

Equity based on numbers
Equality based on need

’exit’
Participation and ’voice’

answerability
Consent and agreement

Selama orde baru, praktek pendidikan di Indonesia memperlihatkan ciri utama adanya sentralisasi yang amat kuat. Kecenderungan sentralisasi otoritas sangat tinggi. Hampir semua hal ditentukan oleh pusat,...Dari segi edukatif, ketiadaan otonomi, berarti tidak ada kebebasan, dan tidak ada kebebasan berarti tidak ada inisiatif dan inovasi, sebab melakukan hal itu berarti berlawanan dengan frame yang telah ditentukan[11].
Pada era sekarang, di tengah bergumulnya masyarakat pada era otonomi daerah, wawasan kebangsaan menjadi sisi lain yang mau tidak mau menjadi perhatian pendidikan di tengah masyarakat yang majemuk. Dengan kata lain, perlunya strategi membangun wawasan kebangsaan melalui pendidikan, yakni perlunya suatu pendekatan yang terintegrasi pada pendidikan karakter.
Paling tidak ada enam prinsip pendidikan karakter ini, yaitu:
1. Pendidikan Karakter Bukan Sebuah Subjek; Pendidikan Karakter adalah Bagian dari Setiap Subjek
Pendidikan Karakter adalah bagian dari kehidupan akademik dan sosial dari setiap siswa. Hal in bukan sebuah subjek, akan tetapi merupakan bagian dari setiap subjek. Para guru cenderung untuk fokus pada sebuah kurikulum yang menjadi kerangka keterampilan dan isi dari pengetahuan, akan tetapi selalu memendam isi yang merupakan pelajaran tanggung jawab, rasa hormat, kerja sama, harapan, dan penentuan, sebagai inti sari dari karakter yang baik.[12]
Theodore Roosevelt mengatakan sebagaimana dikutip oleh Timothy bahwa ”jika mendidik seseorang hanya pikirannya saja, dan bukan akhlaknya, maka pendidikan tersebut hanya akan menjadi suatu ancaman bagi masyarakat” (Theodore Roosevelt, 1904).[13]
Pendidikan karakter ini dapat diajarkan melalui elemen-elemen sebagai berikut:
1. Memfokuskan perhatian siswa pada dimensi etika dalam suatu sejarah.
2. Mengarahkan siswa untuk memikirkan prinsip-prinsip etika.
3. Memfokuskan perhatian siswa pada aspek moral dari kejadian bersejarah dan bagaimana menganalisis serta mendiskusikannya.
4. Melibatkan siswa secara moral dalam sejarah dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka.
5. Membangun kemampuan di antara siswa dalam pembahasan moral, yang membutuhkan argumentasi dan pemikiran yang benar.[14]
Martin Luther King, Jr. mengatakan bahwa ”kecerdasan dan karakter adalah tujuan suatu pendidikan yang benar”[15]
Salah satu kunci kesuksesan adalah usaha kita untuk mengintegrasikan karakter dalam kegiatan rutin harian pada setiap sekolah dan daerah. Pengembangan karakter ini merupakan suatu bagian penting dalam pertumbuhan masing-masing siswa di daerah.
Melalui pengembangan dukungan lingkungan sekolah dan integrasi pembelajaran di ruang kelas dapat mendukung rasa hormat, tanggung jawab, dan kerja sama, yang membantu menghasilkan kecerdasan akademis dan tanggung jawab sosial para penduduk.
2. Pendidikan Karakter Terintegrasi adalah Pendidikan Tindakan
Pendidikan Karakter Terintegrasi ada di luar diskusi dan simulasi. Hal ini merupakan sifat moral seseorang, sebagaimana didefinisikan oleh Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum (1988) ”Mencerminkan martabat manusia ... memperhatikan kesejahteraan orang lain ... mengintegrasikan tanggung jawab sosial dan minat individu ... menunjukkan integritas ... mencerminkan aneka pilihan moral ... mencari pemecahan konflik”. Pendidikan untuk sifat moral seseorang juga meliputi komitmen dan tindakan.[16]
Ada dua corak sekolah yang menjadi fokus pendidikan karakter, yaitu pada satu sekolah pemikiran difokuskan pada orang dan menekankan faktor-faktor sebagai alasan moral dan disposisi, sementara sekolah yang lain pemikiran difokuskan pada lingkungan dan penekanan faktor-faktor sebagaimana budaya dan norma-norma. Pendekatan pendidikan karakter ini diintegrasikan pada kedua posisi ini sebagai pelengkap interaksi antara perseorangan dengan lingkungannya.[17]
Karakter ini mengintegrasikan kepribadian secara keseluruhan. Pendidikan karakter terintegrasi berusaha untuk membantu para siswa untuk mencapai perkembangan yang seimbang antara respon kognitif, afektif, dan emosional.
Proses perencanaan kurikulum untuk pendidikan karakter yang terintegrasi secara konseptual terdiri dari empat aktivitas, yaitu:
1. Menetapkan tujuan; yaitu terdiri dari tujuan personal dan sosiokultural.
2. Mendesain kurikulum; meliputi organisasi isi dalam bentuk dan tema yang berhubungan dengan tujuan.
3. Mendesain pembelajaran; yaitu mengembangkan unit-unit pengajaran yang berhubungan dengan tema-tema yang dipilih dalam tahapan desain kurikulum.
4. Mendesain evaluasi dan modifikasi; yang bukan merupakan bagian yang terpisah, akan tetapi suatu perencanaan untuk mengintegrasikan pendidikan karakter dalam seluruh aspek kurikulum.
3. Lingkungan Sekolah yang Positif Membantu Membangun Karakter
Para guru yang menyadari peran mereka sebagai model dan pemimpin para pemuda tentu akan sukses sebab adanya kondisi positif yang mereka ciptakan di ruang kelas. Para siswa mendapat keuntungan dari model peran yang berfungsi dalam suatu lingkungan yang mendorong perwujudan dan refleksi diri. Pendekatan Pendidikan Karakter yang terintegrasi menyatakan bahwa sekolah harus bersikap proaktif dan mendukung para siswa.[18]
Banyak pakar pendidikan yang mengakui pentingnya pendidik untuk mempengaruhi pembentukan nilai-nilai, etika, dan moral para siswa, dan untuk melakukannya dalam konstruktif lingkungan ruang kelas yang positif.
Pendidikan karakter merupakan pengembangan suatu bahasa yang dipahami oleh para siswa pada nilai-nilai universal yang ada pada siswa secara umum. Nilai-nilai dasar kemanusiaan ini meliputi konsep kejujuran, kebenaran, kerja sama, rasa hormat, tanggung jawab, harapan, pembedaan, dan loyalitas.[19]
4. Pengembangan Karakter Didorong Melalui Kebijakan Administrasi dan Latihan
Para administrator mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menentukan lingkungan sekolah. Sama halnya dengan para guru, model perilaku mereka meningkatkan pertumbuhan karakter di dalam diri para siswa. Para administrator harus menjadi model kebijakan dan praktek yang menunjukkan dan mencerminkan karakter masyarakat dan sekolah. Ketika kurikulum dan dokumen sekolah menyediakan daftar isian untuk mengevaluasi daerah, maka administrator harus mencerminkan tujuan pengembangan karakter.[20]
Keaslian, realita, kredibilitas, dan kejelasan merupakan dasar-dasar karakter yang baik. Keaslian ini merupakan persepsi budaya yang diekspresikan dalam karakter yang dimiliki.
Konsep otentisitas (keaslian) konsep kepemimpinan didefinisikan sebagai perluasan bagi para pengikutnya untuk memaksimalkan penerimaan terhadap tanggung jawab perseorangan dan organisatoris pada tindakan, hasil, dan perkiraan, serta nonmanipulasi para pengikutnya.[21]
Charles E. Watson, mengatakan bahwa ”pemahaman yang jelas dari perilaku organisasi adalah kekuatan untuk mempengaruhi seseorang pada ranah moral” (Charles E. Watson, 1991).[22]
Sebuah misi dinyatakan sebagai komitmen yang terbaik untuk mendidik penduduk dalam mencapai perilaku etika, kualitas, pelayanan, dan kebaikan secara keseluruhan, mencapai mutu dan pembelajaran sepanjang masa, sehingga penduduk yang demikian dapat mengubah suatu bangsa.[23]
Kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perilaku etis pada seluruh tingkatan, termasuk administrator, guru, siswa, tata usaha, dan masyarakat melalui hal-hal berikut:
1. Menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan sensitivitas, rasa hormat, dan berpusat pada seluruh orang serta mengakui penggunaan komponen yang sama.
2. Mengintegrasikan pendidikan etika secara penuh pada proses pembelajaran pada seluruh tingkatan.
3. Mengembangkan program berbasis sekolah yang direncanakan untuk mempromosikan perilaku etika, dan termasuk fokus penerimaan diri dan lainnya.
4. Menyediakan pengembangan staf yang berkualitas dan pendekatan perilaku melalui etika.[24]

5. Guru-guru yang Dikuasakan untuk Mempromosikan Pengembangan Karakter
Pendidikan Karakter Terintegrasi merupakan alat yang mempengaruhi pembelajaran yang dilakukan oleh guru di luar manajemen dan kurikulum. Seorang guru adalah pembuat keputusan yang bekerja dalam keselarasan bersama orang tua dan masyarakat untuk menunjukkan dan mempengaruhi perkembangan karakter, yang dibandingkan dengan fungsi seorang guru dalam otonomi dan kebijaksanaan. Untuk melakukannya tentu menuntut pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai-nilai dan pengembangan karakter serta suatu perasaan diri yang dibangun dengan baik.[25]
Plato mengatakan bahwa ”jika kamu bertanya apa hasil pendidikan, maka jawabannya adalah mudah, yaitu bahwa pendidikan menghasilkan manusia yang baik dan bahwa manusia yang baik itu bertindak dengan anggun”[26].
Kehidupan tidak bebas nilai. Perilaku tidak hanya merupakan pilihan moral, etika dan nilai. Penerimaan terhadap hal ini menjadi sugesti pengembangan karakter yang memainkan peran penting dalam pendidikan. Dengan kebaikan guru di sekolah merupakan kekuatan untuk menyediakan sumber daya bagi para siswa mereka untuk membangun kebermaknaan perilaku dan sikap yang dapat digunakan dalam menyatakan pengalaman untuk menjadikan keputusan kognitif dan afektif yang lebih baik[27].
Pemberdayaan guru tidak hanya mengontrol atau memonopoli lingkungan pembelajaran. Mereka memfasilitasi negosiasi sosial terhadap pemahaman dan mencakup para siswa dalam proses penilaian. Pemberdayaan guru merupakan posisi yang terbaik untuk memerankan pengembangan karakter. Pemberdayaan guru adalah kemampuan unuk mendemonstrasikan inisiasi, pembuatan keputusan, trial and error, pengambilan resiko, dan penilaian subyektif. Faktor-faktor ini merepresentasikan elemen-elemen konstruktif terhadap pertumbuhan dan perkembangan.[28]

6. Sekolah dan Masyarakat adalah Mitra Penting dalam Pengembangan Karakter
Pendidikan Karakter Terintegrasi bukan merupakan tipu muslihat pendidikan hari ini, akan tetapi merupakan hasil penelitian yang bertahun-tahun, dan dipengaruhi oleh praktek dan kebiasaan pendekatan pengajaran yang digunakan para pendidik. Pendekatan ini mengenali pokok-pokok pentingnya kekakuan akademis di dalam sekolah, walaupun mengingatkan kekuatan nilai-nilai yang dikandung sekolah.[29]
Hubungan antara sekolah dan masyarakat adalah adanya kerjasama antara keduanya, yang dirumuskan dalam poin-poin berikut:
1. Melibatkan keluarga dalam pendidikan remaja dengan memberikan peran penting pada keluarga dalam sekolah pemerintah, mengkomunikasikan program-program sekolah dan kemajuan serta menawarkan kesempatan untuk mendukung proses pembelajaran di rumah dan di sekolah.
2. Menghubungkan sekolah dan masyarakat dengan adanya tanggung jawab pada masing-masingnya terhadap kesuksesan siswa, melalui identifikasi kesempatan masyarakat, mengembangkan mitra kerjasama untuk memastikan akses siswa terhadap kesehatan dan pelayanan sosial, serta menggunakan sumber daya masyarakat untuk memperkaya program pembelajaran dan kesempatan untuk mendukung kegiatan sesudah sekolah (lulus)[30].
Kerjasama ini tercantum pada karakteristik yang diinginkan pada masing-masing siswa, yaitu:
1. orang yang memiliki intelektualitas
2. orang yang mampu berkarya dalam kehidupannya
3. warga negara yang baik
4. individu yang etis (bermoral)
5. orang yang sehat.[31]
Di Indonesia, pendidikan yang dikembangkan di sekolah melalui pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan yang dikembangkan di Indonesia ini sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional. Karena itulah pentingnya politik pendidikan dan strategi pendidikan.
Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif. Karena itu, pengembangan dasar, strategi, kurikulum pendidikan harus dibangun dalam kerangka mengakomodir multikulturalisme peserta didik sebagai komponen bangsa.
Pengembangan dasar, strategi, serta kurikulum pendidikan ini haruslah dibangun dan dikembangkan melalui perbaikan atas benturan-benturan budaya dari interaksi sosial peserta didik. Dengan demikian, pendidikan yang dikembangkan harus berangkat dari fakta budaya bahwa karakteristik budaya peserta didik adalah beragam. Untuk tujuan itu, strategi pendidikan (biasa disebut kebijakan pendidikan) dilakukan untuk menerjemahkan politik pendidikan ke dalam sejumlah keputusan dan ketetapan, guna menentukan langkah-langkah operasional dan aksi-aksi/perilaku edukatif yang harus diambil untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi[32].
Hal ini sangat beralasan, karena menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, juga memaksa pendidikan menerapkan pendidikan yang mengarah pada monokulturalisme, sehingga sering terjadi gejolak, jika ini tetap dipertahankan dan tidak dikendalikan akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik. Dari kondisi ini,maka diperlukan politik pendidikan yang berwawasan kebangsaan.
Dan dengan penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model dan strategi pendidikan yang mengakomodir keragaman budaya, sehingga diperlukan upaya dalam revisi atau menyempurnakan materi pembelajaran khususnya yang tidak mengakui adanya keragaman budaya, termasuk juga adanya revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapannya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti yang pernah dilakukan di Amerika Serikat misalnya merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam merupakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan.
Demikian juga halnya di Jepang, aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jepang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali.
Sedangkan di Indonesia, masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah. Selain dari itu, otonomi pendidikan membuka peluang kepada daerah, dan institusi pendidikan, untuk menetapkan sendiri kebijakan pendidikan. Sasaran akhir dari pendidikan ini, pada hakekatnya adalah membekali peserta didik dengan pengetahuan, keterampilan sikap, dan nilai-nilai (values) yang akan membuat mereka hidup mandiri, sehingga fungsional di masyarakat.[33]
Hal ini sejalan dengan hakekat pendidikan, yaitu 1) pendidikan merupakan proses bekesinambungan; proses tersebut terimplikasikan bahwa di dalam peserta didik terdapat kemampuan-kemampuan yang immanen sebagai makhluk yang hidup di dalm suatu masyarakat. Kemampuan-kemampuan tersebut berupa dorongandorongan, keinginan-keinginan, elan vital yang ada pada manusia, 2) proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia. Hal ini berarti eksistensi manusia adalah suatu keberadaan interaktif, 3) eksistensi manusia yang memasyarakat. Proses pendidikan adalah proses mewujudkan eksistensi[34].
Karena itu, menurut Freire[35] bahwa pendidikan harus bekerja dengan bekal pengalaman bagaimana siswa dewasa, anak-anak maupun peserta didik lainya bersekolah atau masuk institusi pendidikan lainnya.

D. Penutup
Melalui pendidikan dengan pendekatan multicultural, seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka.
Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka, tapi diperlukan konstruksi yang lebih monumental dan diaplikasikan secara fungsional dalam kebangsaan kita. Upaya integrasi pendidikan dengan berbasis pendidikan karakter dapat dilakukan untuk menumbuhkan dan membangun wawasan kebangsaan.
Dengan mengembangkan pendidikan karakter, pada semua level pendidikan formal atau pendidikan luar sekolah, maupun oleh institusi kemasyarakatn dan institusi politik akan dapat merekonstruksi wawasan kebangsaan lebih mapan dan komprehensif.

























DAFTAR BACAAN



Ansyar, Moh. Kurikulum dalam menyongsong Otonomi Pendidikan di Era Globalisasi: Peluang, tantangan, dan Arah dalam Jurnal Ta’dib no. 4, Maret 2001,
Arnott, Margaret A. dan Charles D. Raab, The Governance of Schooling: Comparative studies of devolved management, London and New York: Routldge Falmer, 2000,
Barbour, Kenneth. More Than a Good Lesson Plan, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998,
El-Ma'hady, Muhaemin, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural, dalam mailto:elmahady79@yahoo.com, 2004,
Fadjar, Malik, dkk. Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan SDM. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001),
Farrelly, Thomas. Character, Curriculum and Action Education, dalam dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998,
Freire, Paulo, Pendidikan pembebasan, Jakarta, LP3S, 2000,
Henderson, James E. Leadership, Character Growth and Authenticity, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998,
Kartono, Kartini. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997,
Milanovich, Donna K. Partnering With the Community dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998,
Myers, Robert D. Making Leadership Count, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998,
Osbone, David dan Ted Gaebler, Reinventing Govermnment: How the Entrepreneurship Spirit I Transforming the Public Sector, United States: Library of Congress Cataloging in-Publication Data, 1993,
Paulo Freire, Poliik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,
Ribich, Frank M. Constructing Learning and Character, dalam dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998,
Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta:Prenada Media, 2004,
Rusnak, Timothy. The Six Principles of Integrated Character Education, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998,
Stavenhagen, Rudolfo, "Education for a Multikultural world", dalam El-Ma'hady Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultura, Jakarta: 2004,
Supeno, Hadi. Agenda Reformasi Pendidikan, Magelang: 1999,
Switala, William J. Making Character Work, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998,
Tholkhah, Imam, dkk, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002,
Tilaar, H. A. R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002.
Tilaar, H.A.R. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999,
Wynne, E.A., & Ryan, K. Reclaiming our Schools, Yew York: Merrill, 1993.
[1]Muhaemin El-Ma'hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural, dalam mailto:elmahady79@yahoo.com, 2004,hal.1 .
[2] Imam Tholkhah, dkk, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002, h. 1.
[3] Muhaemin El-Ma'hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural, dalam mailto:elmahady79@yahoo.com, 2004, h.2.
[4] Malik Fadjar, dkk. Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan SDM. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 10.

[5] Stavenhagen, Rudolfo, "Education for a Multikultural world", dalam El-Ma'hady Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultura, Jakarta: 2004, h.10
[6] Freire, Paulo, Pendidikan pembebasan, Jakarta, LP3S, 2000
[7] Tilaar, H. A. R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002.
[8] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta:Prenada Media, 2004, h.xi.
[9] David Osbone dan Ted Gaebler, Reinventing Govermnment: How the Entrepreneurship Spirit I Transforming the Public Sector, United States: Library of Congress Cataloging in-Publication Data, 1993,hh.252-253.
[10] Margaret A. Arnott dan Charles D. Raab, The Governance of Schooling: Comparative studies of devolved management, London and New York: Routldge Falmer, 2000, h. 123.
[11] Hadi Supeno, Agenda Reformasi Pendidikan, Magelang: 1999, h. 4.
[12]Timothy Rusnak, The Six Principles of Integrated Character Education, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 4.
[13]Timothy Rusnak, Integrating Character in the Life of the School, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 9.
[14] Wynne, E.A., & Ryan, K. Reclaiming our Schools, Yew York: Merrill, 1993, sebagaimana dikutip Timothy Rusnak, Integrating Character in the Life of the School, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 11
[15]William J. Switala, Making Character Work, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 20
[16] Timothy Rusnak, The Six Principles of Integrated Character Education, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 4.
[17] Thomas Farrelly, Character, Curriculum and Action Education, dalam dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h.33
[18]Timothy Rusnak, The Six Principles of Integrated Character Education, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 4.

[19] Kenneth Barbour, More Than a Good Lesson Plan, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 70
[20] Timothy Rusnak, The Six Principles of Integrated Character Education, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 5
[21] James E. Henderson, Leadership, Character Growth and Authenticity, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 89
[22] Robert D. Myers, Making Leadership Count, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 93
[23] Robert D. Myers, Making Leadership Count, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h.98
[24] Robert D. Myers, Making Leadership Count, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h.99
[25] Timothy Rusnak, The Six Principles of Integrated Character Education, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 5
[26] Frank M. Ribich, Constructing Learning and Character, dalam dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 105
[27] Frank M. Ribich, Constructing Learning and Character, dalam dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 105
[28] Frank M. Ribich, Constructing Learning and Character, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 111
[29] Timothy Rusnak, The Six Principles of Integrated Character Education, dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h. 5
[30] Donna K. Milanovich, Partnering With the Community dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h.134
[31] Donna K. Milanovich, Partnering With the Community dalam An Integrated Approach to Character Education, California: Corwin Press Inc, 1998, h.135
[32] Kartini Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997, h. 29.











[33] Moh.Ansyar, Kurikulum dalam menyongsong Otonomi Pendidikan di Era Globalisasi: Peluang, tantangan, dan Arah dalam Jurnal Ta’dib no. 4, Maret 2001, h. 99-100.
[34] H.A.R.Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, h. 28-29.
[35] Paulo Freire, Poliik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, h. 21.

No comments: