Saturday, April 14, 2012

PENDIDIKAN NASIONAL
BERWAWASAN KOMPETITIF DAN
BERKEUNGGULAN

Samsu

Abstrak:

Efektivitas penyelenggaraan pendidikan nasional, baik dilihat dari sisi tujuan, arah, anggaran, payung hukum, maupun dari sisi kemampuannya untuk memberikan pelayanan yang unggul dan kompetitif, memiliki sejumlah masalah. Paling tidak masalah tersebut bermuara pada rendahnya kepedulian terhadap penyelenggaraan pendidikan dalam konteks pengelolaan, anggaran, kinerja pendidik, serta kemampuannya melahirkan output dan outcome yang berkualitas. Tulisan ini berupaya menguraikan permasalahan tersebut dengan mengedepankan pada analisis kondisi objektif, identifikasi masalah, serta mengungkap harapan peran pendidikan untuk melahirkan pendidikan yang kompetitif dan berkeunggulan.

Kata Kunci:
Kondisi objektif pendidikan, identifikasi masalah, harapan pendidikan
yang kompetitif dan berkeunggulan



A. Latar Belakang
Berbagai kalangan telah mengkritisi mengenai efektivitas penyelenggaraan pendidikan nasional, baik dilihat dari sisi tujuan, arah, anggaran, payung hukum, maupun dari sisi kemampuan pendidikan nasional untuk memberikan pelayanan yang unggul dan kompetitif, serta kemampuannya untuk melahirkan generasi baru yang serba ’berkualitas’ dari berbagai sudut pandang dan pendekatan. Beratnya peran-serta pendidikan yang diemban menyebabkan sistem penyelenggaran satuan pendidikan kita banyak dipertanyakan keberadaannya, bukan untuk mempertanyakan eksistensi, tetapi peran-sertanya dalam konteks pembangunan nasional dan kompetisinya dengan pendidikan berskala global.
Persoalan yang muncul ke permukaan paling tidak mengharuskan setiap pengambil kebijakan seperti pemerintah, pelaku pendidikan, serta sejumlah pemerhati pendidikan untuk mempertanyakan kembali sekaligus berupaya mencari solusi yang terbaik mengenai upaya penciptaan pendidikan nasional yang berwawasan kompetitif dan berkeunggulan, baik skala nasional maupun internasional. Tulisan ini berupaya untuk merumuskan dan mengidentifikasi sejumlah masalah yang dihadapi oleh pendidikan nasional kita. Tujuannya tidak lain untuk memperoleh masukan dalam memperkuat sistem pengembangan pendidikan nasional.

B. Peran Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional
Jika dilihat tujuan pendidikan nasional seperti diamanatkan oleh UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 , maka sebenarnya peran pendidikan diarahkan untuk mencapai pembangunan nasional yang dapat didekati melalui aspek agama, psikologis, ekonomis, budaya, alih teknologi, dan kemampuan melahirkan pendidikan yang kompetitif dan berkeunggulan.
Pendekatan-pendekatan ini merupakan tujuan dan sekaligus langkah strategis yang ingin dicapai oleh pendidikan nasional kita. Realitas menunjukkan pendidikan kita kelihatan gagal dalam membentuk generasi lama secara dominan, utamanya karena diindikasikan oleh perilaku, profil, serta produk pendidikan yang jauh dari sasaran pendidikan nasional selama ini. Orang kemudian mulai menggugat dari sisi mana pendidikan dinilai gagal dalam melahirkan generasi tersebut dalam konteks percaturan politik, dan pranata sosial lainnya. Ada yang mengklaim bahwa pendidikan bukan gagal dalam mencetak generasi lama, karena tugas pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang terjadi hari ini, bukan merupakan tanggung jawab pendidikan. pendidikan telah melahirkan generasi dengan sejumlah kompetensi yang diperlukan, justru yang menyebabkan produk pendidikan berupa ‘lulusan’ gagal dalam melakukan peran positif dalam kehidupan nasional adalah faktor eksternal pendidikan seperti budaya, sistem informasi dan media, akses ekonomi, serta nilai budaya yang dianut oleh masyarakat. Jadi tidak rasional kalau pendidikan yang diklaim sebagai pemicunya.
Ada juga yang menyatakan bahwa pendidikan gagal dalam melakukan peran sosialnya, karena ternyata yang banyak melakukan penyimpangan adalah orang-orang cerdas, bukan orang-orang pintar. Beberapa kasus yang terjadi seperti maling ayam bagi orang miskin dapat dikurung (dipenjara) selama beberapa hari, tetapi jika orang ‘pintar’ bisa saja melakukan berbagai aksi dan strategi atau taktik untuk mengelabui aparat atau penegak hukum, sehingga dapat keluar dengan leluasa. Contoh lain, yang melakukan praktik illegal logging, mafia perbankan, koruptor, dan apalagi jenisnya, sangat dominan berasal dari orang-orang ‘pintar’ dalam konteks berpendidikan dan mereka adalah output pendidikan, sehingga mereka berkesimpulan bahwa pendidikan-lah yang menyebabkan ini semua terjadi. Mereka berpandangan bahwa pendidikan terlalu memberikan porsi yang besar pada ranah kognitif dalam pendidikan, dengan prosentase kurikulum pendidikan yang padat mata pelajaran (mata kuliah) yang mengajarkan logika seperti matematika, dan ilmu eksakta lainnya, sehingga bersifat kritis, daripada afeksi dengan muatan akhlak/moral, dan agama. Perbedaan ini sangat menyolok ditemukan pada kurikulum pendidikan menengah atas/madrasah aliyah ke bawah. Dengan logika yang rasional, output pendidikan berupaya merasionalkan persoalan dihadapi, untuk menghindarkan diri dari problema kehidupan. Dalam konteks inilah mereka bisa mempermainkan hukum dengan delik hukum, dan retorika perdebatan yang rasional.
Terlepas dari perdebatan ini semua, mau tidak mau pendidikan dianggap sebagai media, strategi, serta sarana utama untuk membentuk karakter bangsa (character building) ke depan yang sedang menjadi sorotan berbagai pihak yang mem’vonis’ pendidikan harus direformasi total. Reformasi dilakukan untuk melakukan penguatan internal dan eksternal pendidikan agar mampu memberikan spirit baru menuju perbaikan kehidupan nasional dalam konteks pembangunan pendidikan yang berbudaya, dan kemudian melakukan pembenahan pendidikan yang berwawasan kompetitif dan berkeunggulan.
a. Faktor Penghambat Pembangunan Pendidikan Nasional
Kebijakan pembangunan nasional selama ini, telah memberikan arah yang jelas pada perbaikan berbagai infrastruktur pembangunan, serta peningkatan kualitas hidup. Apa yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah pentingnya mewujudkan kesadaran nasional, serta peningkatan kesadaran politik untuk memberikan keteladanan kepada publik, baik yang menyangkut track record aparatur negara, pentingnya penanaman komitmen pembangunan secara berkelanjutan, pentingnya memberikan penyadaran untuk selalu bersikap positif; jauh dari kehidupan yang suka mencela dan menimbulkan rasa saling curiga, serta pentingnya untuk bangkit bersama-sama secara simultan dari krisis multi-dimensional yang kita hadapi.
Selain itu, faktor penghambat pembangunan yang dirasakan oleh berbagai kalangan, khususnya pihak investor dan pihak asing untuk menanamkan sahamnya di dalam negeri adalah inkonsistensi kebijakan pemerintah yang memberlakukan sistem pajak (tax) yang terlalu tinggi, sistem birokrasi yang berbelit-belit, serta sistem keamanan yang tidak terjamin bagi pihak investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dari sisi pendidikan, ternyata pembangunan nasional pendidikan belum mampu memberikan hasil yang cukup optimal bagi peningkatan kualitas kehidupan bangsa, disamping karena memang pembiayaan dan desain pendidikan yang belum memadai yang menyangkut aspek 1) pengadaan infrastruktur 2) sistem rekrutmen guru/dosen, 3) kepemimpinan lembaga pendidikan (SD sampai PT) yang lemah, 4) sistem reward dan gaji guru/dosen/peneliti yang masih rendah, 5) keberpihakan pembangunan pada dunia pendidikan yang masih lemah, 6) sistem anggaran dan pembiayaan pendidikan tinggi yang berdasarkan kinerja tahun sebelumnya, yang sangat kaku dan bukan berdasarkan rencana strategis yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan perguruan tinggi, 7) lemahnya jaringan interkoneksi lembaga di bidang penelitian, bantuan sponsor, pelibatan penelitian melalui post-doctoral, doctor/professor fellowship, 8) buku referensi yang digunakan (SD sampai SLTA) yang tidak representatif, 9) kemampuan bahasa asing khususnya Inggris, Arab, dan bahasa lainnya yang sangat lemah di kalangan dosen, guru, siswa, dan mahasiswa, sehingga menyulitkan untuk berkompetisi dan mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan.
Sampai saat ini, lembaga pendidikan masih sangat memprihatinkan kondisinya bila dilihat dari sisi infrastruktur yang tersedia, terlebih-lebih bila dibandingkan dengan negara-negara luar seperti Malaysia, Singapura dan negara berkembang terlebih-lebih terhadap negara maju.
Masalah peningkatan mutu pendidikan sebenarnya harus dibarengi dengan ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia. Dalam konteks pengembangan mutu pendidikan, maka sistem pendanaan pendidikan dilakukan melalui anggaran, pembiayaan dan bantuan pendidikan. Sistem pendanaan pendidikan yang berlaku selama ini tidak dapat dibedakan antara 1) anggaran pendidikan, 2) pembiayaan pendidikan, dan 3) bantuan pendidikan secara tegas, sehingga menyulitkan untuk melakukan percepatan peningkatan sumber daya manusia (human resources), dan sumber daya pendidikan, lebih-lebih kondisi ini diperburuk oleh tidak adanya pemetaan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk disiplin keilmuan tertentu.
Anggaran pendidikan lebih merujuk kepada kebijakan umum mengenai sejumlah cost pendidikan untuk membiayai sarana dan prasarana pendidikan termasuk fisik bangunan/gedung sekolah/madrasah/perguruan tinggi dan menyangkut aspek yang sangat luas, termasuk juga dalam hal anggaran pendidikan luar sekolah (jalur formal dan tidak formal). Anggaran pendidikan merupakan cost pendidikan yang diberikan berdasarkan alokasi anggaran pada tingkat provinsi dan kabupaten sampai ke desa-desa di Indonesia, yang perolehan dan penggunaannya diatur melalui mekanisme tersendiri, yang tujuannya tidak lain untuk keberlangsungan satuan pendidikan di sekolah, sedangkan pembiayaan pendidikan pendidikan lebih dimaksudkan untuk menunjang kebutuhan dasar pendidikan, misalnya melalui pengadaan rehabilitasi gedung sekolah, pengadaan teknologi pendidikan, sampai kepada peningkatan sarana-prasarana sekolah.
Perlunya pembedaan antara anggaran, pembiayaan dan bantuan pendidikan, karena orientasi sistem pendanaan bagi pendidikan ini sangat luas, yang satu sama lain saling mempengaruhi dalam meningkatkan mutu pendidikan secara nasional. Akan tetapi belum disadari bahwa ternyata yang paling menentukan adalah sumber daya manusia (human resources) dari guru/pendidik/dosen dalam pendidikan tersebut.
Hingga saat ini masalah anggaran, pembiayaan dan bantuan pendidikan masih menyisakan banyak kelemahan dan masalah dalam praktek di lapangan. Misalnya, anggaran pendidikan di daerah yang masih jauh tertinggal bila diukur dari pendidikan di kota-kota besar, padahal tuntutan kualitas capaian pendidikan melalui hasil-hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) harus sama antara daerah dan kota-kota besar dalam suatu provinsi atau nasional, kondisi ini mempersulit pendidikan di daerah, dengan tuntutan yang berat, tetapi tidak diimbangi dengan kemampuan sistem pendanaan berupa anggaran pendidikan yang memadai.
Selain dari itu, pembiayaan pendidikan melalui upaya pembenahan fasilitas sekolah/madrasah banyak yang tidak tersentuh oleh pembiayaan yang memadai di daerah, sehingga pendidikan yang diselenggarakan terkesan seadanya. Begitu juga dengan bantuan pendidikan, sejumlah mahasiswa yang melanjutkan pendidikan pada tingkatan yang lebih tinggi (magister, dan doktor) baik dalam negeri maupun luar negeri seringkali salah sasaran dan terasa masih sangat minim. Idealnya bantuan pendidikan seperti ini dilakukan interkoneksi antara Kementerian Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, dan departemen lain dengan perguruan tinggi melalui sistem database untuk melihat jumlah mahasiswa yang seharusnya dianggarkan dan dibantu oleh pemerintah. Selama ini yang terjadi adalah terkendala oleh sistem birokrasi pengelolaan dan distribusi bantuan pendidikan oleh pihak pemberi beasiswa (bantuan) pendidikan kepada penerima, sehingga kadang-kadang (bahkan lebih dominan) tidak mampu mengakses informasi itu dengan baik dan cepat. Akibatnya banyak tidak dapat memperoleh bantuan pendidikan dengan baik. Idealnya pemberi beasiswa melakukan link dengan perguruan tinggi, kemudian calon penerima diusulkan oleh perguruan tinggi bersangkutan, dan dana yang mau dicairkan melalui rekening langsung pihak yang menerima, sehingga tidak ada lagi praktek illegal, tetapi praktis, cepat, dan terjangkau kepada semua pihak penerima bantuan (beasiswa), dan sudah barang tentu terseleksi dengan baik.
Pendidikan kita sampai saat ini, masih berputar pada masalah anggaran dan pembiayaan pendidikan ini, tetapi justru masih memiliki pandangan serta perhatian yang lebih pada bantuan pendidikan utamanya untuk peningkatan kualitas guru dan dosen untuk meningkatkan status pendidikan dari S1 (sarjana) ke S2 (master), S2 ke S3 (doktor), dan S3 ke Guru besar (Profesor). Sedangkan orientasi pada pengembangan penelitian yang dilakukan oleh sarjana (S1), master (S2), doktor (S3) dan atau guru besar (profesor) belum dilakukan secara interkoneksi pada berbagai instansi terkait yang melibatkan dosen dalam penelitian (research) ilmiah dan profesional.
Sedangkan pembiayaan pendidikan lebih menekankan pada aspek pendanaan untuk memenuhi efektivitas dan efisiensi penyelenggaran satuan pendidikan pada masing-masing jenjang pendidikan, misalnya rehabilitasi gedung dan fasilitas yang sudah tua, pengadaan media teknologi, sampai kepada infrastrukturnya. Sedangkan bantuan pendidikan lebih menekankan pada bantuan hal-hal yang berkenanaan kesuksesan pelaksanaan pendidikan. Bantuan pendidikan ini dapat dibagi dua, yaitu 1) bantuan yang dilakukan untuk mendukung kelancaran proses pendidikan, seperti penulisan skripsi, tesis dan disertasi, living-cost, pengadaan buku penunjang, dan lain-lain, yang sifatnya insidental, dan dana ini cenderung tidak cukup karena memang jumlahnya kecil, 2) bantuan pendidikan dalam bentuk beasiswa yang diberikan sampai akhir masa studi. Bantuan ini dapat berbentuk dana untuk SPP, pengadaan buku, living-cost, penulisan skripsi, thesis, dan disertasi sampai kepada uang makan, dan penelitian.
Atas dasar ini, maka tidak mungkin kita sebagai bangsa Indonesia mampu untuk melakukan peningkatan apalagi percepatan mutu pendidikan yang sejajar atau melampaui pendidikan di negara luar apabila tidak diperhatikan masalah ini secara maksimal.
Masalah lain yang terjadi di tanah (Indonesia) adalah seringnya politisi, akademisi, praktisi, serta eksekutif dan birokrat bergelut dalam wacana yang saling menjatuhkan dan memojokkan pada suatu kebijakan tertentu, ketimbang harus berpikir untuk bersama-sama melibatkan masing-masing pihak untuk merumuskan kebijakan pemerintahan, dan pendidikan yang kompetitif dan berkeunggulan, bukan hanya lintas provinsi dan nasional, tetapi berskala dunia. Kita belum pernah memperoleh hadiah nobel misalnya dibidang ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan perdamaian dunia, kita juga belum mampu memperlihatkan karya-karya terbaik bangs kita yang lahir dari perguruan tinggi, dan berbangga untuk itu, dengan terus melakukan inovasi tiada henti.
Keberlangsungan alih teknologi dan alih ilmu pengetahuan, sebenarnya harus menjadi miliki bangsa kita dengan memanfaatkan para ilmuwan-ilmuwan dunia, untuk masuk ke Indonesia, tentunya dengan investasi, iklim politik, serta kepedulian kita yang tinggi pada supremasi ilmu pengetahuan, sebagai basis untuk memperkuat eksistensi bangsa di tengah percaturan dunia global. Untuk ke arah ini, tidak ada pilihan lain, kecuali mengusung bahasa nasional dan bahasa asing seperti Inggris, Arab, dan asing sebagai bahasa pengantar dilembaga perguruan tinggi kita sebagai bahasa pengantar wajib di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan kegiatan dan pelayanan akademik. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menghilangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, tetapi dimaksudkan untuk mentransfer percepatan ilmu pengetahuan. Dikatakan demikian, karena memang dunia akademik kita menunjukkan dosen kita banyak yang tidak mampu menguasai bahasa asing dengan baik, utamanya bahasa Inggris, Arab, dan bahasa lainnya.
Kultur masyarakat kita yang lebih suka berbicara daripada berbuat hendaknya sudah dihilangkan. Kultur berbicara memang merupakan suatu hal yang potensial apabila digunakan sesuai dengan latar belakang dan disiplin kita. Dapat kita bayangkan apabila bangsa ini masyarakat petaninya saja setiap hari bicara tentang politik, sepakbola dan sebagainya, sementara ia bukan politisi dan pemain sepakbola. Begitu juga pemerintah kita, yang harus dilakukan adalah bagaimana melayani rakyat, bukan minta dilayani oleh rakyat dengan sistem pengurusan yang birokratis dan sangat berpihak kepada segelintir lapisan masyarakat. Akibatnya rakyat banyak yang kelaparan, miskin, menderita, kehilangan tempat tinggal sampai kepada kurangnya kepercayan kepada pemerintah, sedangkan pendidikan idealnya melakukan kajian-kajian ilmiah (research), dan melakukan rekomendasi dan networking/webworking pada berbagai pihak dalam pemanfaatan hasil pendidikan dan penelitian. Dari sini dapat diperoleh suatu gambaran, bahwa idealnya masing-masing warganegara Indonesia yang sangat potensial ini sudah harus hijrah dari keterpurukan sebagai akibat saling curiga, dan mencaci-maki, kepada suatu tradisi profesional sebagai masyarakat modern yang agraris.
b. Kondisi Objektif Pendidikan Hari ini
Dilihat dari sejarah pembangunan pendidikan nasional, sebenarnya sejarah pendidikan kita sudah cukup panjang. Dalam usianya demikian, seyogyanya pendidikan telah menemukan karakternya yang kuat untuk mendukung pembangunan nasional, dengan meningkatkan derajat kehidupan masyarakatnya. Akan tetapi, ternyata sampai saat ini pendidikan kita belum mampu mewujudkan karakter ideal yang diinginkan untuk memperkuat budaya dan kesadaran pembangunan nasional, karena masih memiliki sejumlah kendala. Kendala-kendala ini secara bertahap terus dilakukan oleh pemerintah. Meskipun kebijakan pemerintah perlu juga mendapat dukungan yang kuat dari semua elemen bangsa.
Sampai saat ini pemerintah terus melakukan terobosan dibidang pendidikan, meskipun demikian, sejumlah persoalan yang masih menjadi kendala yang dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Secara obyektif kendala-kendala tersebut adalah sebagai berikut:
a) Pemerataan pendidikan (desa/kota, kaya/miskin, swasta/negeri/madrasah/sekolah)
Pemerataan pedidikan bagi masyarakat desa dan kota yang masih timpang dan belum terjangkau, belum terjangkaunya pendidikan bagi masyarakat miskin, sementara ada anggapan bahwa pendidikan itu adalah mahal, sejuhlah persoalan yang dihadapi oleh sekolah/madrasah swasta utamanya mengenai gaji guru honorer yang sangat jauh dari kelayakan (Upah Minimum Regional/UMR lebih rendah dari gaji buruh).
b) SDM guru/dosen
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) guru dan dosen kita yang masih rendah. Setidaknya diukur dari rendahnya latar belakang dan jenjang pendidikan guru yang masih banyak yang berlatar belakang pendidikan Diploma, serta belum matching dengan disiplin ilmu yang diajarkan. Sementara dosen kita juga diukur dari rendahnya kemampuan melakukan penelitian, dan masih banyaknya dosen yang berlatar belakang pendidikan strata satu (S1).
c) Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan
Selain dari itu, masalah kepemimpinan pendidikan juga menjadi suatu yang menghambat pendidikan nasional hari ini. Pada sejumlah kepemimpinan lembaga pendidikan di seluruh provinsi hari ini kelihatan menempatkan kepemimpinan pendidikan hanya mampu untuk melaksanakan manajemen organisasi pendidikan, inipun masih menyisakan sejumlah persoalan antara lain rendahnya rekrutmen staf (guru dan pegawai), pengelolaan perpustakaan sekolah, manajemen keuangan, sampai kepada hubungan sekoah dengan masyarakat.
d) Standarisasi dan Sertifikasi Mutu Guru/Dosen
Sampai hari ini masih terdapat 1,7 juta guru yang belum mengikuti sertifikasi, sedangkan dosen ada sekitar 9000 yang akan disertifikasi karena tidak memiliki kemampuan dalam melakukan tugas-tugas akademiknya, anatara lain melakukan penelitian. Dengan sertifikasi sebagaimana diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 diharapkan mutu guru/dosen dapat lebih ditingkatkan.
e) Kemampuan Meneliti
Kemampuan meneliti dosen di perguruan tinggi juga menjadi masalah. Menurut Mien A. Rifai bahwa: “Dari 180.000 dosen di Indonesia, diperkirakan hanya sekitar 1,1 persen yang mampu meneliti secara layak. Tidak heran, kontribusi Indonesia pada perkembangan ilmu pengetahuan amat rendah. Demikian disampaikan penilai hibah bersaing Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Mien A Rifai APU, di Surabaya, Selasa (22/1).”Setidaknya saya lihat itu berdasarkan proposal penelitian yang masuk ke Dikti. Secara umum hanya 2.000 dosen yang mampu meneliti dengan layak,” ujarnya. Banyak dosen lebih sibuk mengajar di banyak tempat daripada meneliti untuk kepentingan pengembangan ilmu. Pasalnya, penelitian untuk bidang ilmu dinilai lebih merepotkan. Untuk mendapat hibah bersaing dari Ditjen Dikti, dosen harus mengajukan proposal. Meski sudah cukup susah membuat proposal, belum tentu dana diterima oleh dosen tersebut jika kalah bersaing. Lain halnya jika mereka mengajar di banyak tempat. Mereka bisa segera mendapat bayaran tanpa perlu banyak kerepotan. Bayaran bisa diterima langsung setelah selesai mengajar. ”Tetapi, akibatnya penelitian amat kurang,” ujarnya. Penelitian yang kurang itu berujung pada rendahnya publikasi ilmiah dari dosen Indonesia di jurnal internasional. Data dari banyak penerbit internasional menyebutkan kontribusi Indonesia pada jurnal internasional hanya 0,012 persen. Kontribusi itu lebih rendah dari Nepal yang mampu menyumbang 0,014 persen. Padahal, Nepal negaranya lebih kecil dan kalah maju dibandingkan dengan Indonesia. ”Kalau dibandingkan dengan Singapura, malah lebih jauh lagi. Singapura menyumbang 0,179 persen bagi jurnal internasional,” tuturnya. Mien kurang sepakat bila dana dijadikan alasan. Pasalnya, dana relatif cukup tersedia. ”Dari Dikti saja ada Rp 240 miliar untuk tahun 2007 lalu,” ujarnya. Penilai hibah lainnya, Suminar S Achmadi, mengatakan butuh waktu panjang untuk meningkatkan kemampuan dosen”.
f) Terbatasnya Prasarana Sekolah
Masalah lain yang dihadapi oleh dunia persekolahan kita hari ini adalah terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah di seluruh Indonesia. Kelemahan dan kekurangan sarana dan prasarana ini berhubungan langsung dengan efektivitas penyelenggaraan pendidikan, yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi kualitas (mutu) pendidikan.
g) Iklim Akademis Yang Tidak Berkembang Dengan Baik
Sejumlah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di tanah air juga ditemukan memiliki iklim akademik yang kurang baik, bahkan jelek, hal ini diindikasikan melalui rendahnya kemampuan dan kemauan guru dan dosen dalam membaca, meneliti, dan menulis, lemahnya kontrol kelembagaan dalam menegakkan aturan dan disiplin, tidak tumbuhnya budaya akademik melalui kegiatan akademik secara baik, karena kultur akademik dan kemampuan bahasa asing khususnya kurang memperoleh penekanan serius dari pemerintah dan dunia pendidikan.
h) Kegiatan Dan Budaya Meneliti Yang Belum Efektif
Selain itu, kegiatan penelitian pun belum berjalan secara efektif, meskipu dana sudah banyak dikeluarkan. Kurang efektifnya kegiatan dan budaya penelitian ini disebabkan karena sistem pengelolaan, distribusi, serta pemanfaatan, dan strategi pengelolaan penelitian kurang berjalan secara efektif.
i) Lemahnya Kemampuan Bahasa Asing (Bukan Sebagai Bahasa Pengantar)
Masalah lain yang dihadapi dan menjadi penghambat pendidikan kita adalah lemahnya kemampuan bahasa asing yang dimiliki oleh peserta didik dan guru/dosen kita, yang mayoritas tidak bisa menggunakan bahasa asing seperti inggris, arab dan mandarin serta bahasa-bahasa asing lainnya sebagai bahasa pengantar. Akibatnya peserta didik, guru, dan dosen tidak mampu mengakses literatur asing dan berinteraksi dengan native speaker dengan baik, hal ini tidak saja memperlambat pembangunan nasional, tetapi juga melemahkan sistem kompetisi lembaga pendidikan untuk bersaing secara internasional.

C. Tuntutan dan Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Nasional Hari ini
Melihat tantangan dan kenyataan (kondisi obyektif) yang dihadapi oleh sekolah dan perguruan tinggi di tanah air, maka sekolah dan perguruan tinggi kita dituntut dan harus berupaya meningkatkan peran pendidikan, yang sampai saat ini upaya dan peran itu masih sangat lemah. Di antara sejumlah tuntutan dan peran yang harus dilakukan adalah perlunya:
1. pemerataan pendidikan (Unit Sekolah Baru/USB, beasiswa, akses pendidikan, pembiayaan pendidikan, sekolah murah/gratis, dan standarisasi),
2. Kualitas guru ditingkatkan melalui program minimal S1, dan S2,
3. Kualitas dosen ditingkatkan minimal S2 (dalam dan luar negeri), dan S3 wajib di luar negeri dengan program scholarship bagi dosen negeri secara penuh untuk semua disiplin, baik di bawah naungan Departmene Pendidikan Nasional (Depdiknas), Departemen Agama (Depag), maupun departemen lain, untuk akses ini perlu jaringan link pemerintah pusat (presiden), dan link kebijakan menteri yang menangani pendidikan terkait,
4. Peningkatan training kepemimpinan pendidikan kekepala- sekolahan oleh perguruan tinggi bukan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), dikatakan demikian karena perguruan memiliki tenaga profesional, sedangkan LPMP hanya bergerak dibidang teknis administratif dan pembiayaan dan prasarana pendidikan, pemerataan dan sejenisnya, karena memang LPMP secara profesional tidak memiliki tenaga pendidik yang memadai secara teoritis dan praktis,
5. perlunya pembinaan manajemen pendidikan dan atau kekepala-sekolahan dibawah pengawasan dan standarisasi perguruan tinggi setempat,
6. Penataan manajemen, sistem informasi, jaringan, dan akses pendidikan,
7. penetapan standar dan sertifikasi guru dan dosen yang bukan hanya dilihat dari segi administratif, tetapi lebih kepada kemampuan bahasa komunikatif-oral, dan kemampuan meneliti, serta keteladanan intern dan ekstern lembaga pendidikan,
8. kemampuan meneliti, dan membimbing penelitian,
9. peningkatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan yang berwawasan pemeliharaan maintanance, dan kemanfaatannya,
10. menumbuhkan budaya akademik yang baik,
11. meningkatkan efektifitas penelitian,
12. mewajibkan bahasa asing seperti Inggris dan Arab sebagai bahasa pengantar di perguruan tinggi, disamping bahasa Indonesia dan dan bahasa asing tersebut di tingkat SD s/d SLTA agar mampu bersaing secara internasional, disamping mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional,
13. meningkatkan peran-serta perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi untuk mempercepat akses pendidikan nasional, di samping pengadaan dan penggunaan cybermedia (internet) untuk memberikan akses pengetahuan dengan cepat, mudah, dan luas, serta mutakhir,
14. meningkatkan peran-serta mahasiswa dan dosen untuk melakukan penelitian di luar dan di dalam perguruan tinggi bersangkutan,
D. Konsep Pengembangan Pendidikan Nasional: Model dan Pendekatan
Dari berbagai teori pembangunan dan pendidikan telah menempatkan pendidikan sebagai alat dan dasar utama dalam proses peningkatan pembangunan suatu negara. Ini berarti pendidikan dalam suatu negara merupakan pilar utama dalam pembangunan. Atas dasar demikian, negara seharusnya memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan.
Teori pembangunan negara yang meletakkan dasar yang kuat pada perlunya dibangun pendidikan nasional tersebut, antara lain dalam konteks kesiapan negara menghadapi proses globalisasi, sehingga menuntut sejumlah kompetensi dan keunggulan bagi setiap bangsa agar tetap bertahan (survive) di tengah-tengah persaingan pasar global. Pasar global sebenarnya, sebagai lingkungan global (global environment) dengan persaingan-persaingan di dalamnya, merupakan salah satu paradigma perubahan (change paradigm) yang dapat mempengaruhi perubahan organisasi (negara) .
Dalam konteks kesiapan negara, pasar global dijadikan sebagai tolok ukur dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kerana itu, sejalan dengan tuntutan lingkungan global, lembaga pendidikan harus mampu mempersiapkan sumber daya manusia yang adaptif, mampu menerima, dan mampu menyesuaikan serta mengembangkan arus perubahan yang terjadi dalam lingkungannya .
Dengan demikian, pendidikan sebagai suatu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa diharapkan mampu memberikan peran dan andilnya dalam akselerasi pembangunan. Kerana itu, pendidikan haruslah mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan bangsa tersebut. Arah, tujuan, visi dan misi pendidikan haruslah mampu menyentuh semua lini kehidupan, kerana itu pendidikan barulah dianggap mampu memberikan kontribusinya apabila semua lini kehidupan tersebut dapat terserap oleh pendidikan.
Pendidikan merupakan kata kunci dalam menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi manusia sepanjang sejarah kehidupannya. Ia juga menjadi tolok ukur maju mundurnya suatu bangsa . Sementara itu, Tilaar menyatakan bahwa pendidikan bertugas untuk mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab setiap warga negara terhadap kelanjutan hidupnya, bukan saja terhadap lingkungan masyarakat dan negaranya, namun juga terhadap umat manusia .
Dari sisi ini, maka dapat dipahami bahwa tanpa pendidikan proses pembangunan nasional akan sulit melakukan percepatan pembangunan, dan negara akan mengalami berbagai persoalan yang mungkin dapat menghambat pembangunan tersebut.
Pemahaman berbagai negarawan, birokrat, politisi, dan akademisi seharusnya merupakan mata rantai yang saling mendukung tegaknya pilar-pilar pembangunan nasional yang berlandaskan pada pendidikan yang berkualitas, dan berdaya saing tinggi, yang bukan saja ditujukan bagi kepentingan individu tersebut, tetapi juga kontribusinya terhadap pembangunan nasional, bahkan kemampuannya untuk melakukan upaya mensejajarkan bahkan memberikan keunggulan bangsa dan negara dimana pendidikan itu berada.
Karena itu penting, saat ini Indonesia melakukan suatu model pengembangan kebijakan pendidikan nasional dan lokal yang memberikan suatu landasan yang kompetitif dan berkeunggulan dengan melakukan percepatan dan perbaikan pendidikan melalui sistem anggaran, pembiayaan, dan pendanaan pendidikan, serta komitmen yang kuat terhadap pendidikan, di sampaing peningkatan kualitas pembelajaran, mutu guru/dosen, dan penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga pendidikan.
Selain dari itu, untuk meningkatkan peran guru dalam profesi yang sebenarnya, maka guru/dosen harus kembali ke kelas (back to class). Artinya profesi lain yang melekat pada guru/dosen hendaknya tidak mengganggu guru/dosen dalam mewujudkan profesi yang profesional. Kebanyakan guru/dosen kita hari ini, dengan berbagai alasan terlibat dalam aktivitas yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan profesi sebagai guru/dosen. Ada guru/dosen yang menjadi nelayan, ada guru/dosen yang berpolitik praktis, ada guru/dosen yang menjadi petani, ada pula guru/dosen yang menjadi pedagang yang tidak ada hubungannya dengan profesi dan disiplin keilmuannya, belum lagi jika dilihat guru/dosen yang terlibat dalam sejumlah proyek pendidikan, tanpa harus memberikan perhatian yang serius terhadap dunia pendidikan.
Dari pengamatan kita pada beberapa guru di provinsi Jambi mengindikasikan adanya penyimpangan perilaku profesional guru dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang guru/dosen. Diduga kuat faktor penyebabnya adalah karena masalah rendahnya apresiasi terhadap profesi guru, selain karena memang kesejahteraan guru sangat rendah dibandingkan profesi lainnya. Dalam penelitian Samsu pada tahun 2003, menunjukkan gaji guru pada suatu sekolah swasta di provinsi Jambi menunjukan angka yang sangat rendah berkisar pada Rp.51.000, hingga Rp.299.000 setiap bulannya. Angka pendapatan gaji guru swasta seperti ini jauh dari kesejahteraan, untuk beli sabun, ongkos dan makan saja tidak cukup (Samsu, 2003). Diduga kuat hal ini juga akan terjadi pada puluhan sekolah/madrasah di provinsi Jambi. Untuk itu perlu upaya mencari rumusan yang tepat mengenai masalah kurangnya perhatian kepada guru dalam meningkatkan peran profesinya sebagai pengajar, pendidik, pelatih dan pembimbing kepada peserta didik di sekolah/madrasah.
Penentuan standar pendidikan merupakan prasyarat menumbuhkan tradisi pendidikan yang berkeunggulan dan kompetitif, meskipun kenyataannya yang ditetapkan oleh pemerintah melalui standar nasional pendidikan hanya berorientasi pada standar internal pendidikan, yang meliputi kompetensi guru (UU Guru dan Dosen) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, tidak ada yang menekankan pada standar pendidikan yang kompetitif dan berkeunggulan. Akibatnya yang direncanakan tidak dapat melakukan kompetisi dan persaingan secara unggul dengan pendidikan antar negara, jika demikian, maka pendidikan kita tidak dapat dikatakan berkualitas, utamanya bila diukur dari sisi hasil-hasil atau produk pendidikan yang dihasilkan, karena pendidikan kita selalu ketinggalan, belum lagi dikaitkan dengan kebijakan dibidang pendidikan yang belum berpihak secara baik kepada pendidikan itu sendiri, dan disertai dengan kesadaran komitmen pemerintah dan pihak pendidikan itu sendiri untuk menciptakan keunggulan dan kompetisi pendidikan justru juga lemah.
Salah satu pendekatan yang haris dilakukan pendidikan dalam negeri (Indonesia) adalah perlunya dibangun suatu kesadaran dibidang penelitian. Selama ini, pendidikan kita belum mampu melahirkan karya-karya inovatif, berkeunggulan, serta mampu menjadi kebanggaan nasional secara kompetitif dan berkelanjutan. Yang ada adalah keunggulan pendidikan secara perorangan yang dilahirkan oleh putra-puteri terbaik bangsa, bukan karena sistem yang dilahirkan oleh pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi).
Sampai saat ini, model pengembangan kualitas dan mutu pendidik terutama dosen di perguruan tinggi belum memiliki arah dan kiblat yang jelas dalam melahirkan dosen-dosen dengan kualitas yang terstandar, berkualitas, dan bergengsi. Pilihan tempat studi pada sejumlah dosen, lebih ditentukan oleh minat dan perhatian dosen untuk memilih lokasi pendidikan lanjutannya. Akibatnya suatu perguruan tinggi terjadi penumpukan dosen ahli dibidang tertentu pada suatu jurusan, tetapi pada jurusan lain ternyata memiliki dosen yang tidak memadai, bahkan berkualitas rendah.
Berdasarkan penelitian penulis pada National University of Malaysia tahun 2008 menunjukkan bahwa standar dosen perguruan tinggi tersebut, sudah ada standar yang baik, seperti dosen yang mau profesor harus melakukan berbagai seminar di tingkat internasional di berbagai negara, pengajaran berstandar ISO, melakukan penelitian di berbagai negara, serta jenjang pendidikan master dan doktor banyak yang ditempuh di luar negeri. Begitu pulang ke Malaysia, maka mereka mentransfer ilmu dan tradisi akademiknya yang tentu saja diperoleh dan bermanfaat bagi negaranya. Sementara dosen kita, jika ada satu dosen yang belajar di satu perguruan tinggi misalnya perguruan tinggi A, maka semua rekan seprofesi sebagai dosen dengan disiplin yang sama, ramai-ramai akan menuntut pendidikan pada perguruan tinggi yang sama. Kondisi ini sebenarnya merupakan pembodohan terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah dan perguruan tinggi tertentu perlu mendesain jumlah doktor dan profesornya yang belajar dan meneliti di perguruan tinggi yang bertaraf internasional, agar peningkatan mutu akademik, tradisi ilmiah, dan transfer ilmu pengetahuan.
Pendidikan merupakan media untuk melakukan transfer budaya menuju keteladanan nasional. Rendahnya apresiasi, perhatian serta keberpihakan pada sistem dan penyelenggaraan pendidikan, menyebabkan pendidikan sulit membendung kebiasaan dan perilaku yang tidak menunjukkan keteladanan, yang ditandai dengan merebaknya perilaku menyimpang secara nasional, baik dalam bentuk korupsi, kekerasan, pelecehan seksual, perampokan, penganiayaan, dan sejumlah perlaku menyimpang lainnya. Padahal jika dilihat, ternyata mereka adalah telah dilahirkan atau merupakan produk pendidikan (baik sekolah dasar, menengah dan tinggi). Dalam konteks ini, apakah pendidikan dapat dinilai gagal? Di sinilah persoalannya, pendidikan kita tidak dapat hadir, tumbuh, dan berkembang serta melakukan tugas dan kewajiban pokoknya dalam melakukan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (bagi perguruan tinggi), atau mengajar, mendidik, melatih dan membimbing (bagi guru di sekolah/madrasah) hanya dengan mengandalkan pada kemampuannya sendiri, tetapi harus didukung dan ditopang oleh perbaikan sistem dan politik nasional yang berpihak pada pendidikan, selain perlunya keteladanan nasional, yang dimulai dari pranata kehidupan yang beragam, yang tentu dimulai dari keluarga.
E. Konteks Pengembangan Pendidikan: Lokal,Nasional, dan Internasional
Dalam upaya mendukung peningkatan pembangunan pendidikan nasional, maka ada beberapa prasyarat konteks pengembangan pendidikan agar mampu melakukan kompetisi secara lokal, nasional dan global (internasional), yaitu:
1. Perlunya diterapkan pendidikan anti korupsi dan kekerasan pada jenjang pendidikan jalur formal, utamanya pada perguruan tinggi, pendidikan ini penting dan mendesak untuk diterapkan mengingat konstruksi kebijakan publik dan tingkat kepercayaan masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan semakin memudar, selain karena sistem yang rapuh, juga karena tingkat kepercayaan dalam mengemban amanat rakyat rendah,
2. Perlunya dikembangkan pendidikan berwawasan kompetitif dan berkeunggulan yang mampu memberikan suatu standar capaian dan target pengelolaan pendidikan nasional,
3. Perlunya diterapkan suatu konsep pendidikan yang berbudaya dengan menekankan pada aspek apektif-pskikomotorik yang kuat daripada aspek kognitif semata,
4. perlunya dibina pendidikan yang menekankan pada penanaman nilai-nilai keagamaan, sebagai dasar untuk memperkuat tatanan kehidupan dalam menghadapi tantangan global dan bersifat destruktif,
5. perlunya penguasaan pendidikan melalui alih teknologi dan peningkatan nilai-nilai kebangunan sosial,
6. perlunya kajian pendidikan lokal, nasional dan internasional sebagai antisipasi pendidikan untuk memperkuat pembangunan pendidikan secara khusus dan pembangunan nasional secara umum,
7. perlunya penetapan standar pendidikan berbasis ISO sebagai dasar penetapan standar pendidikan yang berskala internasional,
8. perlunya peningkatan jaringan pendidikan (networking dan webworking) sebagai suatu antisipasi kebijakan dan upaya memperkuat pembangunan.
F. Solusi Peningkatan Peran Pendidikan Dalam Pembangunan
Kontribusi pendidikan dalam pembangunan nasional merupakan isu sekaligus harapan dalam melakukan percepatan pembangunan nasional. Berbagai kebijakan dan strategi diterapkan untuk meningkatkan kontribusi pembangunan tersebut. Akan tetapi standar implementasi penyelenggaraan pendidikan nasional belum memuaskan. Atas dasar ini, maka perlu adanya konsensus daerah dalam menetapkan standar implementasi pendidikan yang ideal bagi daerah, di samping standar implementasi nasional yang telah dilaksanakan oleh pusat. Penetapan standar implementasi pendidikan lokal dan nasional ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kemampuan pendidikan untuk bersaing secara nasional di samping memberikan keuggulan spesifik secara lokal. Apa yang terjadi saat ini adalah penyamarataan terhadap tuntutan implementasi pendidikan, akibatnya pendidikan yang diselenggarakan oleh daerah dan pusat tidak mampu memberikan keunggulan kompetitif dan spesifik utamanya dalam meningkatkan daya saing, karena terjebak oleh kebijakan yang terlalu sentralistik tanpa harus mendesain pendidikan sesuai dengan kemampuan dan potensi di daerah.
Rendahnya peran serta pendidikan dalam pembangunan nasional selain disebabkan karena rendahnya implementasi penyelenggaraan pendidikan, juga disebabkan karena persoalan dan perumusan pendidikan tidak didasarkan pada permasalahan dari daerah akibatnya, implementasi kebijakan yang ditetapkan oleh pusat, meskipun baik dan maksimal, tetapi dalam prakteknya di lapangan ternyata menimbulkan masalah, hal ini disebabkan karena masalah SDM juga karena logika penerapan kebijakan tersebut tidak/sulit diaplikasikan sesuai dengan kondisi esensial yang dihadapi oleh daerah.
Karena itu ke depan, peningkatan peran pendidikan sedapat mungkin harus memperjuangkan aspirasi dan konsensus mengenai sejumlah masalah yang dihadapi oleh daerah, dan standar kebijakan yang ingin dicapai oleh pemerintah pusat. Hal ini dimaksudkan untuk mempertajam analisis kebijakan pendidikan agar pendidikan dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi percepatan pembangunan nasional.
Analisis kebijakan pendidikan yang dirumuskan di daerah untuk memperkuat arah dan kebijakan pendidikan nasional sedapat mungkin dirumuskan oleh berbagai elemen seperti akademisi di perguruan tinggi secara kelembagaan, tokoh agama, tokoh adat, organisasi masyarakat (ormas), pemerintah dan lain-lain. Kompleksnya masalah yang dihadapi oleh pendidikan nasional, baik menyangkut daya saing pendidikan, problem sosiologi pendidikan (kemasyarakatan), dan masalah internal perguruan tinggi menjadi indikator mengapa rumusan dan analisis terhadap kebijakan pendidikan menjadi suatu keharusan mutlak dalam mempercepat peran pendidikan nasional dalam menyikapi berbagai persoalan kenegaraan.
c. Kesimpulan
Penyelenggaraan pendidikan nasional, baik dilihat dari sisi tujuan, arah, anggaran, payung hukum, maupun dari sisi kemampuan pendidikan nasional untuk memberikan pelayanan yang unggul dan kompetitif, dihadapkan pada sejumlah persoalan. Beratnya peran-serta pendidikan yang diemban menyebabkan sistem penyelenggaran satuan pendidikan kita banyak dipertanyakan keberadaannya, terutama dalam konteks pembangunan nasional dan kompetisinya dengan pendidikan berskala global.
Dengan perannya yang berat tersebut, pendidikan tetap menjadi titik sentral dalam membentuk karakter bangsa (character building) yang karenanya harus direformasi total apabila pendidikan diharapkan mampu mempercepat pembangunan nasional dan melakukan persaingan global. Masalah banyaknya kendala terkait dengan peningkatan mutu pendidikan sebenarnya harus dibarengi dengan ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia. Tanpa itu semua, tidak mungkin kita sebagai bangsa Indonesia mampu untuk melakukan peningkatan apalagi percepatan mutu pendidikan yang sejajar atau melampaui pendidikan di negara luar apabila tidak diperhatikan masalah ini secara maksimal.
Dilihat dari sejarah pembangunan pendidikan nasional, sebenarnya sejarah pendidikan kita sudah cukup panjang. Dalam usianya demikian, seyogyanya pendidikan telah menemukan karakternya yang kuat untuk mendukung pembangunan nasional, dengan meningkatkan derajat kehidupan masyarakatnya. Akan tetapi, ternyata sampai saat ini pendidikan kita belum mampu mewujudkan karakter ideal yang diinginkan untuk memperkuat budaya dan kesadaran pembangunan nasional, karena masih memiliki sejumlah kendala. Kendala-kendala ini secara bertahap terus dilakukan oleh pemerintah. Meskipun kebijakan pemerintah perlu juga mendapat dukungan yang kuat dari semua elemen bangsa.

Daftar Bacaan/Pustaka
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992.
Mien A. Rifai, Kompas, Rabu tanggal 23 Januari 2008, Surabaya, dalam Dikti.Org.
Samsu, Sistem Penghargaan dalam Perspektif Peningkatan Kinerja Guru: Studi Kasus di SMK Jambi IX Lurah 2 Jambi, Jambi, 2003.
Soemantrie, Perekayasaan Kurikulum Pendidikan Rendah dan Menengah Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional: Pengembangan dan Pemikiran. Bandung,: Angkasa, 1993.
Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14/2005.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003.
Young, Organization Development: The Consultant’s Hand Book. Jakarta-Indonesia, IPWI Publishing Company, 1999.
Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

No comments: