Saturday, April 14, 2012

PROFESIONALITAS DOSEN
DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN
PENDIDKIKAN YANG BERMUTU:
(Analisis Terhadap Pelaksanaan Undang-Undang No.14 Tahun 2005
Tentang Dosen di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)


Samsu


Abstrak:

Dari 235.143 orang dosen (Ditjen Dikti, 2008) menunjukkan betapa mandulnya dosen dalam melaksanakan tridarma perguruan tinggi khususnya dibidang pendidikan dan pengajaran, serta penelitian. Menurut Mien A Rifa’i, APU (Tempo Interaktif, Januari 2008) hanya 2.000 orang dosen yang mampu meneliti dengan layak. Sementara menurut Fasli Jalal (Majalah Tempo, Januari 2008) ada sekitar 3000 orang profesor dan 9000 orang doktor, tetapi tidak sejalan dengan kemampuan mengajar dan menelitinya, sementara perlu ditingkatkan kesejahteraannya. Belum lagi bicara ada sekitar 145.630 orang dosen S1 dan 77.181 orang dosen bergelar S2 (magister), yang sudah barang tentu kualitasnya cenderung lebih rendah dibandingkan doktor dan guru besar. Kondisi ini sangat memperihatinkan dunia pendidikan di tanah air. Hadirnya Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 khususnya dalam mewujudkan profesionalitas dosen dalam mendukung pelaksanaan Pendidikan yang bermutu menjadi harapan baru bagi peningkatan well educated, highly performance, dan well paid bagi dosen
di perguruan tinggi di Indonesia dan khususnya di Fakultas Tarbiyah
IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.


Kata Kunci:
Mutu dosen, Ukuran Profesionalitas, Sertifikasi Dosen, dan
Implementasi UUGD No.14 tahun 2005



A. Pendahuluan
Berbagai kalangan telah menilai bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi sangat rendah, dan berdampak kepada mutu pendidikan nasional Indonesia juga sangat rendah. Dengan rendahnya mutu pendidikan tersebut menyebabkan sejumlah masalah dalam penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas, bahkan dosen di perguruan tinggi (universitas, institut, akademi, sekolah tinggi) sebagai tenaga pendidik juga diklaim sebagai pendidik yang tidak profesional.
Telah banyak upaya yang telah dilakukan, meskipun masih banyak faktor penghambat yang merintangi mulusnya jalan dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu tersebut. Bahkan sejumlah pakar juga telah memberikan upaya identifikasi dalam melihat letak kegagalan dan faktor penyebabnya, dengan memberikan tumpuan yang besar kepada kegagalan profesionalitas dosen.
Pemerintah dalam hal ini juga telah melakukan upaya antisipatif, preventif, dan predictable mengenai mutu pendidikan tersebut. Namun tetap saja tumpuan dan harapan yang besar itu terletak kepada dosen. Mengapa? Karena memang sebaik apapun kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah, pada akhirnya yang akan melaksanakan adalah juga dosen di perguruan tinggi. Karena itu penting untuk melihat, bagaimana sebenarnya latar belakang dan kondisi pendidikan, kinerja, serta penghargaan yang diberikan kepada dosen dengan harapan yang besar tersebut. Apakah mungkin menuntut pengharapan peningkatan mutu pendidikan yang tinggi pada dosen tanpa melihat ketiga hal ini. Lalu apa upaya dilakukan oleh pemerintah sejalan dengan semangat Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya pada sisi dosen tersebut. Inilah yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
B. Rendahnya Mutu Pendidikan
Pembicaraan dan analisis mengenai rendahnya mutu pendidikan terutama diukur dari sisi kemampuan perguruan tinggi untuk melahirkan lulusan (output) yang mampu berkerja dan menciptakan lapangan pekerjaan (outcomes).
Kegagalan perguruan tinggi melahirkan output dan outcome ini menjadi indikator evaluasi yang memberikan penekanan bahwa gegagalan itu disebabkan karena dosen belum menunjukkan kinerja yang tinggi, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti latar belakang pendidikan yang masih dominan S1, belum memadainya kemampuan dan metodologi mengajar dosen, terlebih-lebih dari mereka yang memiliki latar belakang pendidikan non-kependidikan, rendahnya pelatihan, workshop, seminar, dan sejenisnya yang berhubungan dengan pengembangan tekhnik dan metodologi pengajaran, tingkat kemangkiran (absenteeism) dosen yang cukup tinggi, struktur tugas yang belum jelas dan terukur, sampai kepada sistem penghargaan yang belum memadai.
Pendekatan sosiologis memandang bahwa dengan pendidikan yang tinggi akan menunjukkan peningkatan harga diri dan status sosial. Meskipun realitasnya, tidak selalu demikian, karena boleh jadi dengan pendidikan yang memadai, ternyata kinerja rendah, sehingga tidak mampu memberikan layanan pendidikan yang memadai kepada mahasiswa. Karena itu tuntutan profesionalitas jabatan (pekerjaan) merupakan keharusan mutlak bagi seorang dosen di perguruan tinggi.
Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi sebagai salah satu fakultas yang memiliki kewenangan melahirkan calon pendidik yang profesional, akan berhadapan dengan tuntutan dalam melahirkan dosen yang profesional, sehingga melahirkan lulusan pendidikan yang bermutu.
Lulusan pendidikan yang bermutu ini merupakan investasi modal sumber daya manusia (human resources). Pendidikan sebagai investasi modal sumber daya manusia terjadi pada beragam situasi lingkungan (setting), seperti pendidikan formal, latihan pekerjaan (on the job training), seminar profesional (professional on by seminars), dan studi perseorangan (personally directed study). Melalui pendidikan kita mengembangkan kemampuan membaca dan menulis, kemampuan untuk mengerti matematika, dan keterampilan memecahkan masalah. Seperti yang dinyatakan oleh Vern Brimley, JR.Rulon R. Garfield education is an investment in human capital. Education occurs in various settings-in formal education, on-the-job training, professional seminars, and personally directed study. Through education we develop literacy, the ability to numerate, and the skills to solve problem. We achieve self-realization, economic sufficiency, civic responsibility, and satisfactory human relationships. As with all investments, it takes resources to create human capital and provide schooling for children, youths, and adults. There is an element of risk. Resources may be misallocated, investment decisions made incorrectly, and no one can be certain that recipients of the education product will achieve the maximum of their human potential. It is imperative that equitable and adequate finance be provided to education to achieve those goals, in spite of that risk. Menurut Allan R. Odden, dan Lawrence O. Picus the development of the state-controlled and governmentally financed “common school” also raised many fundamental issues about school finance. The key issues concerned the level of government (local or state) that would support public education.
Dari pendapat Allan R. Odden, dan Lawrence O. Picus menunjukkan bahwa peningkatan kualitas pembangunan Negara akan mempengaruhi pembangunan pendidikan khususnya di bidang pendanaan pendidikan, salah satu diantaranya peningkatan kesejahteraan dosen di perguruan tinggi. Dengan peningkatan kesejahteraan bagi dosen ini, diharapkan kinerja dosen akan meningkat, dan akan membuka kesempatan bagi dosen untuk berupaya meningkatkan diri melalui peningkatan jenjang pendidikan ke arah yang lebih tinggi (strata pendidikan S1 ke S2, S2 ke S3, terlebih-lebih menjadi guru besar). Dengan hadirnya Undang-undang Guru dan Dosen Nasional No.14 tahun 2005 diharapkan menjadi komitmen, sekaligus faktor pendukung lahirnya dosen yang profesional.
Menurut Undang-undang Guru dan Dosen Nasional No.14 tahun 2005 menyatakan bahwa dosen yang profesional tersebut seharusnya memiliki tiga kriteria, yaitu 1) dosennya hendaklah memiliki pendidikan yang memadai (well educated), 2) dosennya hendaknya memiliki kinerja yang tinggi (highly performance); baik dari sisi kemampuannya melakukan pendidikan dan pengajaran, maupun dari sisi kemampuan melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, 3) dosennya haruslah memiliki penghargaan yang cukup memadai (well paid), sebagai pengakuan status sosial sebagai pendidik yang profesional.
Jika digambarkan kriteria tersebut sebagai berikut:














Gambar: Tiga kriteria mewujudkan dosen yang profesional

Dengan demikian, isyarat Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang dosen yang profesional ini ditunjukkan oleh indikator 1) Kinerja dosen yang tinggi (Highly Performance), 2) Pendidikan dosen yang baik/memadai (well Educated), dan Penghargaan yang Baik/Memadai (Well Paid).
Untuk mewujudkan indikator ini, maka Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Dosen mengisyaratkan adanya upaya meningkatkan profesionalitas dosen yakni dengan meningkatkan pendidikan dosen minimal berpendidikan S2 untuk dapat mengajar di program S1/Diploma, dan S3 untuk S2/S3 (UU Guru & Dosen No.14/2005 (2b)). Ini berarti ukuran profesionalitas dosen saat ini, tidak lagi dipandang profesional apabila ia memiliki pendidikan di bawah S2 (magister). Dengan kata lain, bahwa seorang dosen yang tidak memiliki kualifikasi pendidikan magister/doktor (S2/S3), maka sebenarnya tidak layak lagi masuk ke dalam kelas untuk memberikan perkuliahan kepada mahasiswa, terhitung sejak diundangkannya UU Guru dan Dosen ini tahun 2005.
Komitmen, dorongan dan sekaligus hukuman Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang dosen ini menjadi legitimasi profesional yang melekat pada diri seorang dosen yang mengklaim dirinya sebagai profesional yang layak dihargai. Dengan demikian terbuka peluang bagi setiap dosen untuk berkompetisi, dan berpacu untuk menetapkan diri sebagai profesional. Paling tidak secara legal professional, di samping professional competence.
Legal professional, maksudnya, pengakuan harkat, martabat, dan profesi dosen sebagai seorang profesional diakui, dan dilindungi haknya secara formal oleh undang-pundang, sedangkan professional competence, maksudnya pengakuan seorang dosen mesti diukur atas profesi yang disandangnya. Artinya seorang profesional mestilah menunjukkan kinerja yang tinggi, karena ia berangkat dari pendidikan yang memadai (well educated), serta memperoleh penghargaan yang cukup memadai/baik (well paid).
Apa yang berlaku selama ini pada sejumlah dosen di berbagai perguruan tinggi yang memiliki pendidikan yang memadai; tetapi tidak diimbangi dengan kinerja yang baik merupakan sikap yang tidak seharusnya dipertahankan menurut Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005, yang oleh karenanya menuntut keterlibatan pimpinan pada berbagai lini dan jenjang kepimpinan untuk memberdayakan dosen ke arah sikap profesional kerja, sehingga mampu mewujudkan kinerja profesional yang pada akhirnya melahirkan pendidikan yang bermutu. Inilah sebenarnya yang menjadi tujuan, arah serta sasaran lahirnya Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 tersebut.
Selain dari itu, seorang dosen yang dikatakan profesional haruslah didukung oleh peningkatan penghargaan yang memadai (baik), karena itu, upaya ke arah ini dikembangkan melalui sertifikasi dosen untuk meningkatkan kesejahteraan dosen. Seperti halnya diamanatkan oleh UUGD No.14 tahun 2005 pasal 53 (1) yang menyatakan bahwa dosen yang memenuhi syarat sertifikasi, akan ditingkatkan penghargaannya dengan memberlakukan tunjangan profesi. Pernyataan UUGD yang menyatakan “Pemerintah memberikan tunjangan profesi…kepada dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat…” menunjukkan pengakuan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dosen agar kinerjanya juga meningkat.
Selain dari itu, UUGD Pasal 47 (1) menyatakan bahwa: ”sertifikat pendidik diberikan setelah memenuhi syarat: (1) berpengalaman mengajar 2 tahun, (2) memiliki pangkat minimal asisten ahli, dan (3) lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi (PT)… yang ditetatpkan oleh pemerintah”.

KONDISI DOSEN PADA PERGURUAN TINGGI
DI INDONESIA TAHUN 2008

TINGKAT PENDIDIKAN PNS-PTN PNS-DPK TETAP YYSAN SUB
JML TDK
TETAP JUML
S1 27.477 4.926 47.981 80.384 65.246 145.630
S2/SP-1 29.636 5.175 25.334 60.145 17.036 77.181
S3/SP-2 7.506 491 2.294 10.291 2.041 12.332
JUML 64.619 10.592 75.609 150.820 84.323 235.143
Catatan:
• Kondisi dosen pada Perguruan Tinggi sangat bervariasi, ada Perguruan Tinggi dengan dosen banyak dan sebagian besar S2/S3, sementara ada Perguruan Tinggi dengan dosen sedikit dan sebagian besar S1.
• Kondisi dosen antara Program Studi (Prodi) dalam Perguruan Tinggi juga bervariasi.
• Banyak Perguruan Tinggi baru/ ”kecil” yang kemampuan dosen-nya masih sangat rendah.

Sumber: Ditjen Dikti, 2008

Jika dilihat dari amanat UUGD No.14 tahun 2005 dan data terbaru tentang dosen dengan latar belakang pendidikannya, menunjukkan bahawa ada sekitar 235.143 (dua ratus tiga puluh lima ribu seratus empat puluh tiga) orang dosen yang mesti mengikuti sertifikasi dosen dan ada sebanyak 145.630 (seratus empat puluh lima ribu enam ratus tiga puluh) orang yang mesti meningkatkan jenjang pendidikannya minimal setaraf dengan S2 (magister). Dengan demikian, realitas peningkatan mutu pendidikan sangat jauh dari harapan. Melihat kenyataan ini menunjukkan bahwa kehadiran UUGD No.14 tahun 2005 sangat realistis untuk meningkatkan profesionalitas dan penghargaan dosen di Indonesia, dan khususnya termasuk Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Selain dari itu, dilihat dari sisi penelitian yang dilakukan oleh dosen, menunjukkan kualitas dan kuantitas yang juga sangat rendah, sehingga memerlukan adanya rekonstruksi, khususnya di bidang penelitian dengan semangat research university untuk menggali kembali esensi dasar pengembangan akademik yang dilakukannya.
Rekonstruksi research university sebenarnya merupakan pembedahan terhadap esensi akademik yang harus dijalankan oleh suatu perguruan tinggi. Rekonstruksi ini terasa penting dan mendesak untuk dilakukan, mengingat selama puluhan tahun kehadiran perguruan tinggi di tanah air, ternyata menunjukkan hasil penelitian yang kurang menggembirakan, bahkan dapat dikatakan jelek dan mandul, terbukti dengan rendahnya kualitas dan kuantitas hasil penelitian yang dilakukan oleh setiap perguruan tinggi di tanah air.
Menurut Mien A. Rifai bahwa: “Dari 180.000 dosen di Indonesia, diperkirakan hanya sekitar 1,1 persen yang mampu meneliti secara layak. Tidak heran, kontribusi Indonesia pada perkembangan ilmu pengetahuan amat rendah. Demikian disampaikan penilai hibah bersaing Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Mien A Rifai APU, di Surabaya, Selasa (22/1).”Setidaknya saya lihat itu berdasarkan proposal penelitian yang masuk ke Dikti. Secara umum hanya 2.000 dosen yang mampu meneliti dengan layak,” ujarnya. Banyak dosen lebih sibuk mengajar di banyak tempat daripada meneliti untuk kepentingan pengembangan ilmu. Pasalnya, penelitian untuk bidang ilmu dinilai lebih merepotkan. Untuk mendapat hibah bersaing dari Ditjen Dikti, dosen harus mengajukan proposal. Meski sudah cukup susah membuat proposal, belum tentu dana diterima oleh dosen tersebut jika kalah bersaing. Lain halnya jika mereka mengajar di banyak tempat. Mereka bisa segera mendapat bayaran tanpa perlu banyak kerepotan. Bayaran bisa diterima langsung setelah selesai mengajar. ”Tetapi, akibatnya penelitian amat kurang,” ujarnya. Penelitian yang kurang itu berujung pada rendahnya publikasi ilmiah dari dosen Indonesia di jurnal internasional. Data dari banyak penerbit internasional menyebutkan kontribusi Indonesia pada jurnal internasional hanya 0,012 persen. Kontribusi itu lebih rendah dari Nepal yang mampu menyumbang 0,014 persen. Padahal, Nepal negaranya lebih kecil dan kalah maju dibandingkan dengan Indonesia. ”Kalau dibandingkan dengan Singapura, malah lebih jauh lagi. Singapura menyumbang 0,179 persen bagi jurnal internasional,” tuturnya. Mien kurang sepakat bila dana dijadikan alasan. Pasalnya, dana relatif cukup tersedia. ”Dari Dikti saja ada Rp 240 miliar untuk tahun 2007 lalu,” ujarnya. Penilai hibah lainnya, Suminar S Achmadi, mengatakan butuh waktu panjang untuk meningkatkan kemampuan dosen”.
Dari sini kelihatan bahwa betapa rendahnya (kuantitas dan kualitas) penelitian dosen. Jika dilihat dari latar belakang pendidikannya, maka dosen yang berlatar belakang doktor dan profesor ribuan jumlahnya, menurut Fasli Jalal dalam majalah tempo, ada sekitar 3000 profesor dan doktor 9000 orang, tetapi tidak sejalan dengan kemampuan mengajar dan menelitinya, sementara perlu ditingkatkan kesejahteraannya. Karena itu perlu dilakukan rekonstruksi akademik-ilmiah yang mengarah pada research university ini. Dengan rekonstruksi perguruan tinggi ke arah research university diharapkan suatu perguruan tinggi akan melahirkan semangat baru dengan paradigma berpikir untuk ‘selalu mencari dan menemukan’ sesuatu sebagai geliat intelektualitas yang dominan pada karakter ilmiah perguruan tinggi.
Rekonstruksi research university sebagai terobosan baru dalam kerangka pemberdayaan fungsi dan peran akademik-ilmiah perguruan tinggi terutama diarahkan untuk lebih menekankan pada aspek, 1) kelembagaan, 2) sumber daya peneliti (dosen), 3) sistem dan birokrasi kampus, 4) pendanaan, 5) fasilitas pendukung, dan 6) penghargaan atas hasil karya dosen. Rekonstruksi ke arah ini, paling tidak memberikan ruang gerak yang simultan dalam mempercepat gerakan diseminasi semangat dan tradisi ilmiah melalui research university ini.
Untuk mendukung ke arah ini, tidak ada pihak perguruan tinggi yang dianggap tidak penting dalam konteks pengembangan research university. Akan tetapi semua dianggap merasa berkepentingan dan berjuang untuk implementasi research university ini, di tengah pelayanan pendidikan yang semakin dituntut untuk mengakses berbagai ilmu pengetahuan dengan cepat. Itulah sebabnya mengubah paradigma perguruan tinggi dari pola tradisional menjadi perguruan tinggi yang berbasiskan research university memerlukan penekanan pada berbagai aspek, di samping untuk memperkuat ruang gerak dosen dalam melahirkan karya penelitian yang representatif dan beragam.
C. Faktor Penghambat Rendahnya Mutu Pendidikan
Apabila dianalisis mengenai faktor penghambat mengenai rendahnya mutu pendidikkan dapat dikelompokkan menjadi beberapa faktor. Ada yang disebabkan oleh faktor mutu dan akses dosen, sistem yang dibangun oleh perguruan tinggi, maupun faktor rendahnya sistem penghargaan (kesejahteraan), jenjang pendidikan, sampai kepada kurangnya pembinaan terhadap peningkatan mutu dosen.
Akumulasi dari faktor penghambat ini akan menyebabkan mutu pelayanan pendidikan juga relatif rendah. Karena itu, masalah mutu pendidikan sebenarnya merupakan masalah yang kompleks. Komitmen untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu tersebut, menjadi dasar pilar dan dasar utama terbangunnya komitmen melahirkan pendidikan yang bermutu. Karena itu, dua mainstream yang dianggap kompeten melahirkan pendidikan yang bermutu itu adalah dosen dan pemimpin.
Dosen dikatakan mainstream melahirkan pendidikan yang bermutu, karena dosen terlibat langsung dalam aktivitas pendidikan dan pengajaran serta penelitian. Dosen memiliki kewenangan, otoritas, serta kompetensi yang memadai dalam melahirkan pendidikan yang bermutu tersebut. Sedangkan dari sisi kepimpinan, pemimpin merupakan pemegang otoritas kekuasaan dan pengambil kebijakan di sebuah perguruan tinggi, untuk menentukan prioritas mana yang akan menjadi jalan lahirnya pendidikan yang bermutu tersebut. Karena itu, sinergisitas antara dosen dengan pemimpin di sebuah perguruan tinggi sangatlah diperlukan. Apabila dosen dan pemimpin berjalan sendiri-sendiri dalam tugas dan kewenangan masing-masing, maka dapat dipastikan secara managerialship, kepimpinan itu akan gagal dalam mewujudkan komitmen bersama untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu.
Sangat tidak rasional, apabila suatu perguruan tinggi dosennya memiliki arah yang tidak sejalan dengan keinginan pimpinan untuk melahirkan visi, misi dan tujuan perguruan tinggi khususnya dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu tersebut. Artinya dengan keterlibatan dosen yang sangat kompleks terhadap tugas pendidikan dan pengajaran serta penelitian, seringkali menyita waktu, pikiran, tenaga serta perhatian dosen, sehingga lari pada cita-cita awal, bahwa yang diharapkan dari perannya adalah melahirkan pendidikan yang bermutu. Kebanyakan yang dilakukan, sebenarnya hanya soal biasa saja, tanpa arah yang jelas.

D. Upaya-upaya Dalam Memperbaiki Mutu Pendidikan
Menurut John Brennan, dkk bahwa fokus pada studi kasus kelembagaan seharusnya dikembangkan melalui hal-hal sebagai berikut: 1) the context for quality assessment e.g. national system features, government policies, external quality assessment requirements, institutional characteristics, 2) the internal quality assessment methods that are in place in institutions e.g. external examiners, student feedback, regular review and monitoring of courses, 3) how quality assessment (both internal and external) affects the management and decision-making processes e.g. relationship to planning and resources, curriculum development, 4) the impact of external quality requirements upon the institution at structural, cultural, curriculum and governance levels, 5) where possible, institutions would undertake internal case studies (within the overall institutional case study) of recently evaluated departments or disciplines, 6) the interpretation of outcomes from quality assessment structure and culture are related to this.
Sejalan dengan pendapat John Brennan tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu pendidikan khususnya di perguruan tinggi seharusnya dikembangkan melalui penataan sistem birokratisasi kampus, kejelasan kebijakan pimpinan, perlunya dibangun mitra pendidikan utamanya dalam pelaksanaan ujian melalui forum penguji luar ketika ada ujian munaqasyah/ujian skripsi, tesis dan disertasi (external examiner), mereview mutu pelaksanaan pendidikan dari dosen yang mengajar di kelas, moniroring dan evaluasi pelakasanaan akademik dan pembelajaran, dan budaya akademik kampus, penerapan open manajement yang berorientasi pada pelayanan mahasiswa (student oriented services), bukan (leadership-bureaucrate/lecturer oriented services), serta mengukur tingkatan pengambilan keputusan, struktur, budaya, kurikulum pemerintahan kampus.
Tujuan Penilaian Kualitas (Purposes of quality assessment)
Perubahan yang secara langsung mempengaruhi sistem pendidikan di dunia adalah merefleksikan maksud atau tujuan penilaian kualitas external dari suatu institusi pendidikan. Menurut John Brennan, Peter de Vries dan Ruth Williams ada tujuh maksud penilaian kualitas (dalam hal ini penilaian pendidikan), yaitu 1) to ensure greater accountability for the use of public funds, 2) to improve the quality of higher education provision, 3) to stimulate competitiveness within and between institutions, 4) to undertake a quality check on new (sometimes private) institutions, 5) to assign institutional status, 6) to transfer authority between the state and institutions, 7) to make insternational comparisons.
Investasi dalam pengembangan professional memiliki banyak tujuan, yang pada prinsipnya menurut Willis D.Hawley dan Donald L. Rollie diarahkan pada dua hal, yaitu 1) memperluas kapasitas dan motivasi dosen untuk meningkatkan pengajaran mahasiswa pada aspek (jalan) khusus, 2) membangun kapasitas baru dalan perguruan tinggi (misalnya memperluas kegunaan teknologi computer dalam pembelajaran).
Efektivitas pengembangan professional (dosen) menurut para ahli sebagaimana dijelaskan oleh Willis D.Hawley dan Donald L. Rollie dapat bagi menjadi 10 prinsip, yaitu:
1) Pengembangan professional seharusnya didasarkan pada analisis kolaboratif dari perbedaan antara (a) kinerja mahasiswa yang sebenarnya, (b) tujuan dan standar pengajaran mahasiswa,
2) Pengembangan professional seharusnya secara mendasar didasarkan dan dibangun melalui aktivitas pengajaran harian,
3) Pengembangan profesional seharusnya melibatkan dosen dalam mengidentifikasi apa yang dibutuhkan oleh mahasiswa dalam belajar dan pengembangan pengalaman belajar dimana mahasiswa akan terlibat di dalamnya,
4) Content seharusnya merefleksikan penelitian yang terbaik pada topik yang diberikan,
5) Content pengembangan profesional seharusnya memfokuskan pada apa yang mahasiswa pelajari dan bagaimana mengalamatkan perbedaan masalah mahasiswa yang mungkin dimiliki dalam materi pengajaran tersebut,
6) Pengembangan profesional seharusnya memberikan peluang kepada yang memiliki pengalaman untuk memberikan pemahaman dan merefleksikan penelitian dan teori yang berkenaan dengan pengetahuan dan keterampilan (skill) yang dipelajari,
7) Cara dosen mengajar adalah memfasilitasi seharusnya menjadi cerminan pendekatan pengajaran (instructional) yang diharapkan untuk dikuasai dan diikuti oleh dosen mengenai pengalaman konsekuensi kapabilitas pengajaran baru,
8) Pengembangan profesional seharusnya dilanjutkan dan diteruskan, melibatkan tindak lanjut (follow-up) dan dukungan (support) pengajaran lanjutan, yakni meliputi dukungan sumber-sumber external perguruan tinggi yang dapat memberikan sumber penting dan perspektif baru,
9) Pengembangan profesional seharusnya dihubungkan dengan proses perubahan komprehensif yang difokuskan pada tujuan khusus untuk meningkatkan pengajaran mahasiswa, dan
10) Evaluasi pengembangan profesional seharusnya menggabungkan berbagai sumber informasi terhadap masalah (a) outcomes mahasiswa, dan (b) pengajaran dan proses lain yang terlibat dalam implementasi pelajaran yang diajarkan.

E. Profesionalitas Dosen
Harapan dan tuntutan terhadap pentingnya profesionalitas seorang dosen, menunjukkan betapa pentingnya seorang dosen menyadari penting arti profesi yang disandangnya. Realitas menunjukkan bahwa ternyata sikap profesional yang dimiliki oleh seorang dosen ternyata jauh dari yang diharapkan oleh Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005, selain disebabkan karena bervariasinya jenjang pendidikan yang rata-rata masih pada tingkat magister (S2) ke bawah (S1), juga karena masih terdapatnya sejumlah dosen yang memiliki kinerja yang masih lemah. Kinerja yang rendah ini ditandai dengan jumlah kehadairan tatap muka di kelas yang masih rendah, persiapan mengajar yang sedanya, sampai kepada kehadiran dan partisipasinya pada kegiatan ilmiah, dan jurusan.
................................................................................................tambah............
F. Faktor Pendukung yang Harus Dibangun
Mewujudkan seorang dosen yang profesional sesuai dnegan amanat Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 ini mengisyaratkan perlunya didukung oleh empat kompetensi dasar, yaitu 1) kompetensi pedagogik, 2) kompetensi kepribadian, 3) kompetensi sosial, dan 4) kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Mengingat tugas pokok sebagai dosen adalah menjalankan tridarma perguruan tinggi, maka tidak ada pilihan lain bagi seorang dosen kecuali berupaya meningkatkan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdiannya kepada masyarakat. Tugas pokok inilah yang menyebabkan seorang dosen selalu berinovasi, dan berkreasi untuk melahirkan konsep atau teori yang lebih tepat dalam melakukan transfer of knowledge dan transfer of valuekepada setiap peserta didik, serta selalu aktif melakukan penelitian yang berhubungan dengan realitas lingkungan sesuai dengan disiplin keilmuan yang dimilikinya.
Berangkat dari tugas pokok yang melekat pada tugas pokok dosen tersebut, menunjukkan bahwa seorang dosen memang dituntut untuk menjadi profesional.
G. Kesiapan Dosen dalam Menghadapi Sertifikasi Dosen: Faktor Penghambat dan Pendukungnya
Pembicaraan mengenai sertifikasi khususnya bagi dosen selalu saja menarik diulas karena memang banyak aspek yang mesti dikaji dalam proses sertifikasi dosen. Persoalannya bukan pada tujuan sertifikasi dosen, tetapi yang menjadi persoalan adalah implementasi sertifikasi dosen tersebut bagi sejumlah dosen, khususnya menyangkut penilaian portofolio sertifikasi.
Menurut Yanto (JE, 12 August 2008), bila diperhatikan sepuluh komponen penilaian sertifikasi melalui portofolio, terdapat beberapa komponen yang dirasakan sangat sulit dipenuhi oleh sebagian besar guru juga terjadi pada dosen kita. Diantara komponen-komponen tersebut adalah pendidikan dan pelatihan, keikutsertaan dalam forum ilmiah, prestasi akademik dan karya pengembangan profesi. Komponen pertama adalah pendidikan dan pelatihan yang dihitung berdasarkan jumlah jam pelatihan. Dari jumlah jam tersebut akan menentukan jumlah skor yang diperoleh dosen. Skala pelatihan juga mempengaruhi skor. Pelatihan yang dilaksanakan pada tingkat nasional tentu lebih tinggi dibandingkan yang hanya tingkat provinsi apalagi kabupaten. Padahal kita tahu, untuk dapat mengikuti pelatihan tingkat kabupaten atau kota saja, tidaklah mudah. Dosen harus mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran yang tidak sedikit. Jangan lupa, dengan ikut pelatihan apalagi yang memakan waktu cukup lama, dosen harus meninggalkan tugas mengajar dalam jangka waktu yang cukup lama.
Masalah siapa yang akan ikut sertifikasi dalam suatu perguruan tinggi juga masalah tersendiri. Dosen ’senior’ dan memegang jabatan tertentu merasa dia yang lebih pantas tanpa ukuran yang jelas, misalnya diumumkan secara fair dan terbuka bagi siapa dosen yang berminat, lalu diseleksi oleh pimpinan unit kerja, hal ini tidak berlaku, justru yang berlaku tiba-tiba saja nama dosen calon peserta sertifikasi dipanggil. Sedangkan dosen yang masih baru tentu ingin juga menambah wawasan ikut berbagai pelatihan. Ditambah lagi pelatihan ataupun pendidikan tidak setiap bulan dilaksanakan. Jadi begitu ada pelatihan, biasanya yang ingin ikut banyak sementara yang diijinkan tentu tidak semuanya. Hal yang sama berlaku juga untuk komponen keikutsertaan dalam forum ilmiah.
Prestasi akademik adalah komponen lain yang dirasa cukup sulit bagi sebagian besar dosen kita. Untuk memenangkan berbagai lomba bukanlah hal mudah. Menemukan karya monumental juga demikian. Menjadi dosen sebagai peneliti merupakan perkara yang sangat sulit, selain menyita waktu, juga perlu dana yang cukup, sementara dana yang tersedia dari pusat penelitian hanya sedikit, itupun harus diperebutkan yang kadang-kadang cara dan transparansi pengelolaannya juga sering tidak fair, misalnya dalih senioritas, pejabat, dan belum pernah meneliti.
Sesuai dengan tuntutan pedoman penilaian angka kredit dosen, maka komponen terakhir yang dirasa cukup berat bagi dosen dalam memenuhinya adalah karya pengembangan profesi. Pada komponen ini, dosen dirangsang untuk menulis artikel, jurnal, buku, dan karya tulis lainnya. Padahal kita tahu bahwa budaya menulis dan meneliti belumlah menjadi sebuah tradisi bagi kebanyakan dosen kita.
H. Analisis Pelaksanaan Undang-Undangan Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005
Bertitik tolak dari realitas dan idealitas keberadaan serta posisi dosen sebagai seorang yang profesional, memberikan arah, penekanan serta harapan yang besar pada upaya perbaikan citra dan mutu seorang dosen. Tuntutan ini memberikan peluang kepada dosen untuk melakukan peningkatan kualitas diri, kualitas kerja, melalui peningkatan jenjang pendidikan (S1 ke S2 dan atau S2 ke S3), serta meningkatkan kesejahteraan dengan program sertifikasi.
Dengan kehadiran Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 merupakan wujud komitmen pada peningkatan kualitas diri dan pelayanan pendidikan dari seorang dosen kepada mahasiswa, selain dari itu, hadirnya Undang-undang ini mengisyaratkan suatu standar kompetensi seorang dosen dalam pelaksanaan tugasnya, serta merupakan pengakuan harkat dan martabat dosen sebagai profesional yang layak dihargai.
Ada sejumlah kalangan dosen menilai bahwa sertifikasi sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang merupakan paksaan, karena menilai bahwa sebenarnya kesejahteraan merupakan hak dosen, sedangkan peningkatan kualitas merupakan sesuatu yang relatif dan memerlukan proses pembinaan tanpa harus mengaitkan kepada kesejahteraan yang diberikan.
Konsekuensi dari kebijakan sertifikasi ini menyebabkan terjadi perbedaan tingkat kesejahteraan. Bahkan fakta menunjukkan ternyata kinerja dosen yang lulus sertifikasi belum menunjukkan peningkatan kualitas pelayanan yang signifikan dibandingkan dengan yang belum disertifikasi. Artinya, sertifikasi dinilai tidak efektif untuk mengukur kualitas pelayanan yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan. Justru yang berlaku adalah dengan rekrutmen peserta sertifikasi memunculkan berbagai pertanyaan di kalangan dosen diberbagai perguruan tinggi di tanah air.
Bagaimanapun Undang-undang No.14 tahun 2005 ini merupakan kebijakan mutlak pemerintah yang harus dilaksanakan bagi guru dan dosen yang dianggap akan meningkatkan standar kualitas kerja dan pelayanannya kepada mahasiswa dan stakeholder-nya, meskipun memerlukan proses panjang dalam pembuktian efektivitasnya. Tapi paling tidak Undang-undang ini merupakan angin segar bagi dunia pendidikan di tanah air. Dalam konteks inilah fakultas tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi mesti berperan aktif dan positif dalam menata dosen menuju pelayanan pendidikan yang berkualitas (bermutu) dan unggul.

I. Kesimpulan dan Penutup
Profesionalitas dosen yang diamanatkan oleh Undang-undang tentang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 merupakan tawaran mutlak untuk memperbaiki mutu pendidikan, dengan memberikan penekanan pada perlunya upaya perbaikan mutu dosen melalui peningkatan jenjang pendidikan (S1 ke S2, dan atau S2 ke S3), serta peningkatan pemenuhan hak-hak dosen melalui sertifikasi agar memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, sehingga memungkinkan dosen lebih ’bergairah’ dalam pelaksanaan profesi, serta perlunya dosen mempertahankan kinerja profesional sebagai bagian dari tugas pokok sebagai dosen.
Hadirnya Undang-undang tentang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 memberikan arah, motivasi, serta penetapan standar profesi dosen sebagai profesional yang layak dihargai terkait dengan fungsinya dalam melaksanakan tridarma perguruan tinggi.

J. Referensi
Allan R. Odden, dan Lawrence O. Picus, School Finance: A Policy Perspective, third edition, United States of America: McGraw-Hill, 2004,
John Brennan, Peter de Vries dan Ruth Williams (editor), Standards and Quality Higher Education, London: Jessica Kingsley Publishers, 1997,
Mien A. Rifai, Kompas, Rabu tanggal 23 Januari 2008, Surabaya, dalam Dikti.Org.
TEMPO Interaktif, Jakarta: 2008,
Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005,
Vern Brimley, JR. Rulon R. Garfield, Financing Education in a Climate of Change, United States of America: Pearson, 2008,
Willis D.Hawley dan Donald L. Rollie, The Keys to Effective Schools: Educational Reform as Continuous Improvement, California: Corwin press, 2007.

No comments: